Bendera LGBT, Arogansi Kulit Putih
Mengibarkan bendera LGBT di lingkup kedutaan tidak menjadi masalah. Tetapi mengibarkannya di halaman terbuka yang bisa terlihat oleh publik secara langsung sama saja dengan pamer aurat di depan umum. Pamer aurat dilakukan karena punya kelainan psikologis mengidap penyakit eksibisionis, atau sengaja ingin mempermalukan orang lain padahal dia sendiri yang seharusnya malu.
Pamer bendera LGBT secara terbuka menunjukkan arogansi Inggris yang merasa lebih pandai dalam hal toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan. Kesombongan ini merupakan sisa-sisa sikap kolonialis dan imperelis di masa lalu yang menjadikan Inggris sebagai negara penjajah dengan jumlah negara jajahan terbesar di dunia.
Inggris bangga dengan predikat ini. Tanpa rasa malu mereka menyebut semboyan ‘the sun never sets in the British Empire‘, matahari tidak pernah tenggelam di kekaisaran Inggris. Ini menunjukkan luasnya negara jajahan Inggris yang membentang dari belahan barat sampai ke timur sehingga matahari terus bersinar, karena perbedaan waktu sehari dari satu ujung ke ujung lainnya.
Harusnya Inggris malu dengan predikat itu. Tapi Inggris justru bangga. Menjadi penjajah bukan sebuah aib tapi sebuah tugas dari sebuah bangsa yang beradab untuk mengajari peradaban kepada negara-negara lain yang belum beradab. Penjajahan bukan kejahatan melainkan The white man’s burden, kewajiban manusia kulit putih untuk memberadabkan manusia-manusia kulit berwarna.
Penjajahan kulit putih diperkuat dengan angkatan bersenjata dan dipertegas dengan penjajahan budaya. Edward Said mengecam penjajahan budaya ini dalam Culture and Imperialism. Karya-karya sastra Inggris secara sengaja menjadi bagian dari strategi penjajahan untuk mencekoki mentalitas kaum terjajah bahwa mereka memang bangsa yang inferior yang harus diangkat derajatnya melalui penjajahan.
Budaya dan nilai-nilai sosial-politik kalangan penjajah dipaksakan sebagai nilai-nilai yang universal yang dipaksakan untuk diadopsi bangsa-bangsa di seluruh dunia. Setelah wilayah kekaisaran Inggris menciut pasca-Perang Dunia Kedua, mentalitas superior itu tetap masih dipertahankan dan diteruskan oleh Amerika yang menjadi super power baru.
Nilai-nilai dalam hak asasi manusia dan demokrasi disebut sebagai nilai universal yang harus berlaku di seluruh dunia. Tidak ada lokalitas dan tidak ada local wisdom. Demokrasi dan hak asasi manusia harus diterima di seluruh dunia, dan negara-negara yang menolak akan diisolasi dan bahkan diserang dengan kekuatan militer.
Itulah sisa-sisa mental kolonialisme dan imperialisme yang sekarang masih kental di negara-negara Barat. Dulu masih ada komunisme yang menjadi antitesa Barat, tapi sekarang komunisme ambruk dan kapitalisme-liberalisme memproklamasikan diri sebagai kekuatan tunggal dunia. The end of history, sejarah telah berakhir dengan runtuhnya komunisme Uni Soviet pada 1990.
Nilai-nilai kapitalisme dan liberalisme manjadi penguasa dunia yang harus diadopsi oleh semua negara. Keengganan menerima nilai universal itu akan berakibat pengucilan dan serangan militer. Iraq dan negara-negara Timur Tengah menjadi korban serangan militer. Banyak negara yang menjadi korban isolasi karena menentang nilai-nilai universal paksaan.
LGBT menjadi simbol liberalisme-kapitalisme yang sekarang mulai mengibarkan bendera di seluruh dunia dan memaksakannya sebagai nilai yang harus diadopsi dan dihormati manusia seluruh dunia. Sama dengan hak asasi dan demokrasi, LGBT dianggap sebagai nilai universal yang harus diterima dan dihormati di seluruh dunia.