Bennett, Calon PM Pengganti Netanyahu yang Lebih Radikal dan Esktrem
Lebih dari 600 ribu orang Yahudi menetap di 140 permukiman di Tepi Barat dan Jerusalem Timur, yang dianggap ilegal oleh hampir seluruh komunitas internasional, namun dibantah Israel.
Keberadaan permukiman-permukiman ini adalah topik paling panas antara Israel dan Palestina. Israel berkeras membelanya, sedangkan Palestina ingin agar semua permukiman ditiadakan serta negara yang merdeka di Tepi Barat dan Gaza dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota.
Mencampuri urusan permukiman, apalagi menghentikan aktivitas permukiman, dianggap Bennett mencari ribut. Bahkan, oleh Bennet, Netanyahu tidak bisa dipercaya dalam menangani urusan ini.
Karena dia lancar berbahasa Inggris (mengingat orang tuanya lahir di Amerika Serikat) serta piawai dalam urusan media, Bennett kerap tampil di jaringan televisi asing guna membela aksi-aksi Israel.
Pernah suatu kali dia berdebat dengan seorang anggota parlemen Israel keturunan Arab yang menentang permukiman Israel di Tepi Barat. Saat itu dia mengatakan: “Ketika Anda masih berayun di pohon-pohon, kami sudah punya negara Israel di sini.”
Bennett menolak gagasan pendirian negara Palestina yang berdampingan dengan Israel—atau kerap disebut ‘solusi dua negara’ untuk mengatasi konflik Israel-Palestina yang diadvokasi komunitas internasional, termasuk Presiden Amerika Serikat, Joe Biden.
“Selama saya punya kekuasaan dan kendali, saya tidak akan menyerahkan tanah Israel satu sentimeter pun. Titik,” cetusnya dalam wawancara pada Februari 2021.
Bersamaan dengan sikap itu, Bennett ingin menguatkan kekuasaan Israel di Tepi Barat—wilayah yang dia rujuk dengan nama Yudea dan Samaria—dengan menganeksasi sebagian besar kawasan tersebut.
Bennett juga berpandangan radikal saat berurusan dengan ancaman dari kelompok pejuantg Palestina.
Pada 2013 dia mengatakan orang Palestina “teroris seharusnya dibunuh, bukan dibebaskan”.
Padahal hukuman mati tidak diterapkan di Israel, kecuali saat mengeksekusi Adolf Eichmann—perancang Holokos yang divonis bersalah pada 1961 dan digantung setahun berikutnya.
Dia menolak gencatan senjata dengan para pemimpin Hamas di Gaza, yang justru membuat pertikaian bereskalasi pada 2018. Dia juga menuduh kelompok Hamas membunuh puluhan warga Palestina sendiri, yang tewas akibat serangan udara Israel guna merespons tembakan roket dari Gaza saat pertikaian pada Mei 2021.