Benteng Penistaan Agama
Ferdinand Hutahaean (FH) resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian. Penetapan tersangka ini merupakan buntut cuitan ‘Allahmu lemah’ yang menggegerkan warganet. Lucunya, dilaporkan oleh Ketum DPP KNPI, Haris Pratama, dengan dugaan penistaan agama dan ujaran kebencian, FH justru dijerat pasal tentang membuat keonaran di masyarakat dengan ancaman hukuman sepuluh tahun penjara. (JPNN.com, 11/01/2021).
Ya, kasus penistaan agama tampaknya terus saja terjadi di negeri ini. Mirisnya, Islam dan umatnya yang menjadi bahan cemoohan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Yang membuat umat Islam gregetan, saat pelakunya tidak dapat lagi berkilah sebab dilaporkan atau kalah di persidangan, pelaku hanya dapat meminta maaf atau membuat pernyataan di atas kertas bermaterai.
Sering kali publik pun disuguhi pembelaan tak terduga dari para pejabat berdasi, bahkan dari ulama ‘negara’. Pada kasus FH yang mengaku telah menjadi mualaf ini, menag juga ikut melakukan pembelaan dengan dalih agar tidak menimbulkan kegaduhan yang lebih besar.
Dikutip dari detik.com, 7/1/2022, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengatakan bahwa sangat mungkin karena FH mualaf, ia belum memahami Islam secara mendalam, termasuk dalam hal akidah. Untuk itu, FH butuh bimbingan, bukan cacian. Menag juga mendorong adanya tabayun pada kasus ini.
Tentu kita tidak dapat mengatakan bahwa FH telah mempermainkan agama Islam dengan pernyataannya yang telah menjadi mualaf. Namun, dengan nyata kita gamblang melihat bahwa sistem demokrasi telah menempatkan Islam dan umatnya sebagai objek candaan, olok-olokan, hingga hinaan. Yang sering membuat umat Islam geram, pelaku penistaan terhadap Islam justru cenderung dibela dan dilindungi.
Inilah buah getir hidup dalam naungan sistem demokrasi. Sistem yang lahir dari rahim sekularisme ini nyata menuhankan kebebasan. Paradigma demokrasi sukses memberikan kebebasan seluas-luas pada manusia tanpa campur tangan aturan agama, termasuk dalam kebebasan beragama dan berpendapat.
Kebebasan berpendapat inilah yang melahirkan orang-orang yang berani berpendapat yang menyimpangkan kebenaran ajaran Islam, serta menghina dan menghujat ajaran Islam yang pasti benar dan mulia. Mereka bahkan dengan bebasnya melontarkan pemikiran dan pendapatnya berdasarkan hawa nafsu. Tanpa berpikir apakah itu benar atau salah, menyakiti banyak orang atau tidak, sesat dan menyesatkan atau tidak, bahkan berdampak buruk di tengah masyarakat atau tidak.
Di satu sisi, kebebasan beragama telah melunturkan kesakralan dan kesucian agama. Sebab tidak sedikit orang yang bebas keluar masuk agama demi kepentingan yang ingin diraih. Ya, sebutlah, jika dengan mengaku muslim seseorang dapat bebas dari jeratan hukum dan bui, maka dia pun berani berkata bahwa dia muslim.
Alhasil, sebab menjunjung tinggi kebebasan inilah, penguasa pun tak berkutik dengan tingkah laku rakyatnya, sekalipun itu rusak dan merusak, karena terbelenggu oleh doktrin HAM. Di sisi lain, penerapan demokrasi melahirkan hukum yang tak memenuhi rasa keadilan dan menimbulkan efek jera. Tidak heran, jika pelaku penistaan agama pun bebas bersuara bahkan dibela.
Kasus penistaan agama dan sejenisnya sejatinya dapat dihentikan jika sistem Islam diterapkan dalam institusi negara. Penerapan Islam secara komprehensif niscaya mencegah rakyatnya, baik muslim maupun nonmuslim, untuk memperolok dan menistakan agama.