OPINI

Beranikah Jokowi Tetap Menaikkan Iuran BPJS Kesehatan?

Kurang dari satu bulan mengakhiri masa jabatannya, anggota DPRI (2014-2019) malah meninggalkan bom waktu untuk Presiden Jokowi.

Bila salah menanganinya, bom waktu itu bisa meledak dan menghancurkan periode kedua pemerintahan Jokowi.

Dalam rapat gabungan dengan pemerintah Senin (2/9), anggota Komisi IX dan XI DPR sepakat menolak rencana pemerintah menaikkan iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Lebih dikenal sebagai BPJS Kesehatan.

DPR hanya menyetujui kenaikan iuran untuk peserta mandiri kelas I dan II. Sementara untuk peserta bukan Penerima Bantuan Iuran (PBI) kelas III ditolak. Pemerintah boleh menaikkan dengan catatan telah menyelesaikan pembersihan data (data cleansing) yang acakadut.

Dalam rapat pekan sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani mengusulkan kenaikan iuran sampai lebih dari 100 persen. Menaikkan iuran dinilai merupakan satu-satunya cara untuk menutup defesit yang dari tahun ke tahun, terus membengkak.

Peserta JKN kelas I tadinya hanya membayar Rp80.000/ bulan dinaikkan menjadi Rp160.000. Peserta JKN kelas II dari Rp51.000 menjadi Rp110.000. Sementara peserta JKN mandiri kelas III yang tadinya hanya membayar iuran sebesar Rp25.500, naik menjadi Rp42.000 per bulan.

Menaikkan dan menurunkan iuran BPJS Kesehatan sesuai ketentuan perundang-undangan adalah kewenangan Presiden. Jadi keputusan DPR sesungguhnya tidak punya kekuatan mengikat. Presiden bisa saja mengabaikannya. Itu kalau berani.

Situasinya kini sungguh berbeda. Di tengah beban hidup masyarakat kian berat, tarif listrik naik, harga BBM naik, harga-harga kebutuhan pokok terus merangsek naik, kenaikan iuran BPJS kesehatan menjadi isu politik yang sangat sensitif.

Bola liar yang akan digoreng habis oleh lawan-lawan politiknya.

Reaksi keras segera bermunculan. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengancam akan menggelar unjukrasa besar-besaran.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button