Beranikah Jokowi Tetap Menaikkan Iuran BPJS Kesehatan?
Beberapa RS terancam gulung tikar, atau diambil alih oleh jaringan RS milik para taipan.
Jumlah peserta JKN (2019) sebanyak 223.3 juta. 82,9 juta diantaranya adalah peserta non PBI, alias membayar dengan kocek sendiri.
Mereka inilah yang akan langsung terdampak kenaikan iuran. Jumlah tersebut hanya selisih sedikit dari perolehan suara Jokowi pada Pilpres 2019 sebanyak 85.6 juta suara.
Katakanlah kurang dari separuhnya adalah pendukung Jokowi. Mereka akan bergabung bersama penentang Jokowi. Sama-sama menjadi korban. Senasib sepenanggungan.
Kalau sudah urusan kesulitan hidup, tak ada lagi bedanya antara cebong dan kampret. Mereka sama-sama menderita.
Mereka akan punya penilaian dan pendapat yang sama. Memindahkan ibukota saja bisa, mengapa menutup defisit BPJS Kesehatan yang jumlahnya relatif kecil saja, pemerintah tidak bisa.
Padahal pembenahan BPJS Kesehatan beserta problem defisitnya menjadi salah satu janji kampanye Jokowi. Janji yang diulangnya kembali pada pidato RAPBN 2020 dan Nota Keuangan 16 Agustus lalu. Sementara pemindahan ibukota tidak pernah disinggung sama sekali.
Inilah warisan (legacy) yang akan ditinggalkan Jokowi pada akhir masa jabatan pertamanya. Sebuah problem pelik yang tidak mudah diselesaikan.
Tidak bisa hanya dengan pembenahan IT bantuan dari perusahaan asuransi Cina seperti dikatakan Menko Maritim Luhut Panjaitan.
Mohon maaf. Resep andalan Luhut, semua urusan dan masalah, akan beres bila diserahkan ke Cina. Kali ini tidak berlaku.
Menaikkan iuran BPJS bukan lagi seperti memakan buah simalakama. Tidak dinaikkan, terus defisit. Dinaikkan akan membuat beban hidup jutaan rakyat Indonesia semakin berat.
Bagi Jokowi, iuran BPJS sudah menjadi buah terlarang (khuldi). Bila sampai berani menaikkan, bisa saja dia terusir dari istana, seperti Adam dan Hawa terusir dari surga!
Wallahu a’lam Bishshawaab. End.
HERSUBENO ARIEF
sumber: facebook @hersubenoarief