SUARA PEMBACA

Berharap Indonesia Swasembada Daging

Untuk memenuhi hajat kebutuhan pokok rakyat seperti daging sapi, beras, minyak dan lainnya masih tergantung impor. Hingga saat ini pemerintah memprediksi kebutuhan impor daging sapi atau kerbau pada 2022 mencapai 266.065 ton (ekonomi.bisnis, 13/1/2022).

Impor ini menjadi jurus andalan penguasa untuk mengatasi kelangkaan bahan pangan, misalnya saja selama ini untuk memenuhi konsumsi domestik daging sapi siap potong di tiga wilayah non sentra produksi, seperti Jakarta, Banten dan Jawa Barat sebesar 93 persen berasal dari negara kangguru. Sementara sisanya, pemerintah mengandalkan dari peternak sapi lokal (2/3/2022). Pemenuhan stok dan stabilisasi harga sejumlah bahan pangan di dalam negeri setiap tahun sangat bergantung dari kebijakan impor negara asal. Seperti yang terjadi pada awal 2021, kenaikan harga daging juga terjadi setelah melonjaknya harga kedelai.

Konsekuensi yang harus ditanggung Indonesia menjadi negara serba impor, naik turunnya harga kebutuhan pangan nusantara sangat bergantung pada kebijakan global. Di tengah pandemi, besar harapan harga bahan pangan makin dapat dijangkau, kenyataannya justru sebaliknya, sejumlah komoditas pangan harganya justru melambung tinggi. Fenomena naiknya harga pangan pada momen-momen tertentu bukanlah hal baru, melainkan selalu berulang setiap tahunnya, hingga masyarakat pun kebal, mau tidak mau menerima dengan legowo meski diiringi keluhan dengan kenaikannya.

Seharusnya, fenomena berulang ini, menjadi pelajaran hingga tidak lagi terulang, pemerintah pun ikut andil besar dalam menstabilkan harga pangan. Sebuah negara yang mencita-citakan swasembada daging pada tahun 2026 semestinya tidak lagi bergantung pada impor, melainkan terus berupaya memberdayakan peternak lokal. Potensi luar biasa yang dimiliki oleh wilayah-wilayah sentra produksi harus terus dikembangkan dan ditingkatkan produktivitasnya oleh pemerintah, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan domestk yang bersumber dari daging sapi tanpa harus mengambil jalur impor.

Kentalnya Komersialisasi

Pemerintah selalu melihat masalah kenaikan harga daging hanya dari satu sisi yakni ketersediaan stok daging. Jika ketersediaan terbatas, permintaan meningkat, maka mindset impor dan impor menjadi solusi jitu. Mengapa tidak merubah mindset impor ini menjadi kemandirian produksi dari peternak lokal saja? Dengan berbagai strategi dan komitmen yang tinggi untuk membenahi tata kelola sistem produksi.

Indonesia memiliki beberapa wilayah penghasil daging terbesar. Dikutip dari laman industri.kontan.co.id, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki 10 provinsi dengan produksi daging sapi terbesar, di antaranya Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatra Barat, Banten, DKI Jakarta, Sumatra Utara, Lampung, dan NTT (2/9/2020). Andai pemerintah mau menggarapnya dengan serius, permasalahan ketersediaan stok akan terjawab. Wilayah-wilayah sentra produksi sapi lokal tersebut dikembangkan dan dikelola secara optimal agar bisa memenuhi pasokan daging dalam negeri, sehingga negeri ini dapat berlepas diri dari kecanduan impor. Bukan hal yang mustahil untuk mewujudkan pangan murah dan berkualitas bagi masyarakat. Lalu, mengapa pemerintah tidak bersegera mengatasinya?

Demokrasi yang identik dengan sistem ekonomi berbasis kapitalisme sejatinya akan melahirkan penguasa yang abai, suatu hal yang lumrah dilakukan penguasa dengan oritentasi segala sesuatunya hanya materi, materi dan materi. Faktor komersialisasi juga sangat kental melekat seakan tak dapat dilepaskan. Pasalnya daging sapi sebagai komoditas pangan strategis akan memberikan keuntungan yang sangat menggiurkan, terlebih bagi para importir. Ditambah kebijakan impor yang diberlakukan pemerintah dan klaim bahwa peternakan lokal masih tradisional, justru menghancurkan peternakan lokal itu sendiri.

Islam dan Swasembada Daging

Fakta di lapangan, banyak peternak yang kurang memiliki akses pasar, informasi pasar, permodalan dan kelembagaan yang lemah. Kondisi semacam ini acapkali dimanfaatkan oleh para pedagang/tengkulak yang menguasai akses pasar, informasi pasar, dan permodalan yang cukup memadai. Sehingga pembenahan tata niaga produk domestik menjadi hal penting dalam rangka terciptanya swasembada.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button