NASIONAL

Berkunjung ke Desa Terisolir di Donggala

Palu (SI Online) – Gempa berkekuatan 7,4 Skala Richter disertai tsunami menghantam Sulawesi Tengah pada 28 September 2018, praktis sempat membuat lumpuh 3 Kabupaten di sana.

Selain menimbulkan ribuan korban jiwa dan luka, gempa dan tsunami juga mengakibatkan kerusakan pada bangunan serta terisolasinya beberapa daerah di Sulteng.

Ratusan NGO dan lembaga sosial dari berbagai latar belakang bahu membahu membantu tanggap bencana di Sulteng. Forum Jurnalis Muslim (Forjim) berkesempatan melihat langsung daerah bencana di Sulteng pada Ahad, 14 Oktober 2018.

Bersama Wahana Muda Indonesia (WMI) Care, Forjim diajak mendatangi desa-desa yang sempat terisolir selama lima hari pasca gempa di wilayah Donggala.

“Kita sudah sejak dua hari pasca gempa sudah membuka posko di Palu,” kata koordinator WMI Care, Budhi Setiawan.

Perjalanan menuju lokasi desa, mengikut sertakan beberapa elemen yakni, Notaris Muslim Indonesia (NMI), Thoriquna, Bina Insan Kamil (BIK) Peduli dan Komunitas Kampung Muslim. Komunitas Muslimah Kajian Islam (KMKI). Nama-nama elemen di atas membentuk Aliansi “Bersatu untuk Palu dan Donggala” selama program peduli bencana berlangsung.

Dengan menggunakan 7 kendaraan, rombongan WMI menyusuri sepanjang pantai Palu dan Donggala. Dampak gempa dan tsunami masih nampak di daerah-daerah yang dilewati rombongan seperti bangunan hancur dan rubuh berserakan di sepanjang garis pantai. Bahkan, di satu titik daerah yang dilewati, Forjim masih mencium bau busuk menyengat di antara reruntuhan bangunan-bangunan di pinggir pantai Donggala.

“Biasanya, bau ini timbul dari jasad-jasad yang masih tertimbun dan belum terevakuasi,” ucap Budhi saat menemani perjalanan.

Selama di perjalanan, beberapa kali kendaraan rombongan juga harus melewati sisa-sisa longsoran bukit yang memutus jalan utama. Dari kota Palu, rombongan WMI harus menempuh kurang lebih 90 KM untuk tiba di Desa Lende Tovea (Sibera), Kec. Sirenja, Donggala (Pantai Barat). Desa yang sempat terisolasi seusai gempa menghantam Donggala.

Setibanya di Lende Tovea, tim diperlihatkan kondisi yang cukup mengenaskan. Seluruh bangunan di desa rata dengan tanah, masyarakat sekitar mencoba bertahan hidup dengan membuka tenda dan memanfaatkan bangunan yang masih bisa tegak dan beratap.

Meski tidak terkena tsunami, penduduk desa dengan 640 Kepala Keluarga itu sempat melarikan diri ke bukit dan gunung. Awal gempa, mereka takut ada tsunami susulan, seperti dialami dua desa tetangganya.

“600 orang mengungsi di gunung, tapi sekarang mereka sudah kembali ke desa,” ungkap Kepala Desa Lende Tovea, Rahmat.

Selama terisolir, beberapa warga desa mencoba berkomunikasi dan mencari bantuan ke daerah luar dengan melakukan perjalanan menggunakan perahu di laut. Sebab, logistik pada saat itu sudah sangat menipis. “Kita makan cuma dengan buah pisang dari kebun dan gunung-gunung selam lima hari,” cetus Rahmat.

Di Lende sudah ada sebuah tenda darurat dari pemerintah, temda di pergunakan untuk menaruh bantuan logistik. Secara umum masyarakat masih dalam kondisi sulit, penerangan listrik masih belum normal dibandingkan di kota Palu. Otomatis, desa Lende Tovea gelap gulita saat malam menjelang, hanya di tenda posko pemerintah nampak lampu menyala yang mendapat energi listrik dari tenaga genset.

Setiba di Lende Tovea, relawan WMI membangun komunikasi dengan kepala desa. WMI juga melakukan pemetaan kondisi di desa untuk membaca kebutuhan apa yang diperlukan masyarakat. Karena, WMI berencana membangun posko di Lende Tovea.

“Kalau diizinkan, kami ingin menaruh satu posko di sini (Lende), agar bisa membantu dan mensuplai kebutuhan di sini,” ujar Budhi.

“Kami izinkan untuk membuka posko di sini,” sahut Kepala Desa Lende Tovea.

Rombongan relawan, menyempatkan diri shalat di masjid darurat desa Lende Tovea, kemudian relawan mendrop logistik di desa. Rincian logistik, kurang lebih diantaranya beras, telur, mie instan, air mineral, tenda, nasi bungkus, dan genset.

“Ditotal, bantuan logistik sebanyak 2 ton untuk desa Lende Tovea,” ucap Budhi.

Dalam kesempatan itu, Pesantren Bina Insan Kamil (BIK) Peduli turut menyumbang dana sebesar 50 juta untuk desa Lende Tovea. Uang secara simbolik diserahkan langsung oleh koordinator BIK Peduli Ustadz Anshari Taslim kepada Kepala Desa.

“Kami fokus membantu pembangunan pendidikan dan keagamaan, insyaAllah kita siap bekerjasama dengan WMI untuk program ke depan di sini,”ujarnya.

Selain bantuan logistik, ibu-ibu dari KMKI dan NMI sempat menghibur anak-anak pengungsi di masjid. Para ibu mengajak berbincang anak-anak dan memberi bantuan buku tulis, al Quran, makanan ringan serta uang saku.

“Jadi anak yang solih dan sholihah ya anak-anak..,” ucap rombongan para ibu.

Seusai dari Lende Tovea, rombongan relawan juga memberi bantuan logistik di Desa Sibado, Kec. Sirenja dan Desa Sindue Donggala pada malam harinya, diantaranya memberi bantuan beras, telur dan genset.

Program Masjid Rintisan

Ketua WMI Care Handriansyah mengatakan salah satu program andalan WMI dan network untuk bencana gempa dan Tsunami di Sulteng adalah pembangunan masjid rintisan. Tim WMI sudah mulai melakukan pendataan desa-desa yang masjidnya hancur dan tidak bisa digunakan kembali.

“Masjid di bangun berpola darurat diawal, kemudian akan kita arahkan pembangunan masjid secara permanen dalam iringan waktu,” katanya.

Menambahkan, menurut Budhi, dalam waktu dekat WMI Network akan membangun 10 masjid di Palu dan Donggala. Ia mengajak para donatur yang ingin terlibat program tersebut untuk segera menghubungi WMI.

“Satu masjidnya dibutuhkan 40 Juta biayanya,” lontarnya.

Salah satu desa yang didahulukan pembangunan masjid rintisan adalah desa Lende Tovea. Sebab, satu-satunya masjid besar di desa, yakni masjid Istiqomah sudah hancur rata dengan tanah. Program pembangunan masjid rintisan, imbuh Budhi, memiliki dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek ruhani.

“Jadi, bukan hanya masjid kita bangun. Nanti kita bina juga dakwah dan pendidikan agama di desa,” tandasnya.

WMI dan network rencananya akan mengawal penanganan bencana di Sulteng hungga tahap pemulihan. Sebagaimana, program tersebut berjalan saat penanganan gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

red: adhila

Artikel Terkait

Back to top button