Borgol KPK, Beri Efek Jera Koruptor?
Ada yang baru dari cara perlakuan KPK kepada koruptor. Biasanya setiap pejabat yang tertangkap KPK bisa senyum dan sambil melambaikan tangan ke arah kamera. Kini, dengan tetap memakai rompi oranye, tangan mereka diborgol. Efek pemborgolan tangan pun lumayan terlihat dari wajah yang menunduk ketika disorot oleh kamera. Akankah borgol ini mampu memberi efek jera bagi pelakunya dan membuat yang melihat tak ingin bernasib sama?.
Pada faktanya, masalah korupsi seakan tak ingin meninggalkan Indonesia. Sambung menyambung berita tertangkapnya pelaku kasus korupsi bersaing dengan berita gempa dari BMKG. Ada yang dilakukan individu, namun ada juga yang berjamaah. Yang menggeramkan hati seluruh elemen masyarakat adalah kasus korupsi proyek pengadaan air minum Kementerian PUPR yang salah satunya adalah untuk daerah bencana Donggala, Palu, Sulawesi (tribunnews.com, 3/1/2019). Perkembangan kasusnya, KPK telah menyita deposit sebesar satu milyar rupiah dari tangan tersangka.
Melihat Indeks persepsi korupsi Indonesia (IPK) tahun 2017 yang dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan skor IPK Indonesia berada pada angka 37. Dengan skor tesebut, Indonesia berada diperingkat 96 dari 180 negara yang disurvei (kompas.com, 22/2/2018). Skor itu sama dengan tahun lalu, bahkan peringkat Indonesia turun dari 90 ke 96.
Ada tiga elemen penyumbang indeks persepsi korupsi, yaitu pemerintah, kalangan politisi dan pebisnis. Faktor kemudahan berbisnis ternyata menjadi salah satu penumbang IPK. Seperti lingkaran setan, para pebisnis biasanya memberikan ketebelece pada pemerintah demi mendapat kemudahan usaha.
Sedangkan pemerintah pun termasuk dalam elemen penilaian IPK. Pemerintah, diantara mereka sebelum duduk menjabat, tentulah seorang politisi. Demi memuluskan jabatannya, mesti ada janji-janji dengan para pebisnis. Lihatlah bagaimana susahnya mencari pangkal tindak pidana korupsi ini.
Ada tiga elemen penyumbang indeks persepsi korupsi, yaitu pemerintah, kalangan politisi dan pebisnis. Faktor kemudahan berbisnis ternyata menjadi salah satu penumbang IPK. Seperti lingkaran setan, para pebisnis biasanya memberikan ketebelece pada pemerintah demi mendapat kemudahan usaha. Sedangkan pemerintah pun termasuk dalam elemen penilaian IPK. Pemerintah, diantara mereka sebelum duduk menjabat, tentulah seorang politisi. Demi memuluskan jabatannya, mesti ada janji-janji dengan para pebisnis. Lihatlah bagaimana susahnya mencari pangkal tindak pidana korupsi ini.
Gurita korupsi sudah membelit negeri ini. Setidaknya, ada dua faktor yang menyebabkan para penguasa bermental korup. Pertama, faktor eksternal, yaitu sistem yang diterapkan di negeri ini. Kedua, faktor internal, yaitu pribadi si pelaku, meskipun juga tak lepas dari sistem aturan yang menaunginya.