OPINI

Buah Simalakama Izin Aborsi Bersyarat

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana UU Kesehatan masih terus menuai kontroversi. Tidak hanya menuai kritik terkait Pasal 103 ayat (4) mengenai penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja. Aturan izin aborsi bersyarat bagi korban perkosaan pun dihadang polemik.

Dalam PP 28/2024, Pasal 116 menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana.

Adapun kehamilan akibat perkosaan atau kekerasan seksual ini harus dibuktikan dengan: a) surat keterangan dokter atas usia kehamilan sesuai dengan kejadian tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan; dan b) keterangan penyidik mengenai adanya dugaan perkosaan dan/atau kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan (PP 28/2024, Pasal 118).

Aman atau tidak aman, aborsi jelas berisiko. Ketua Bidang Legislasi dan Advokasi PB IDI, dr. Ari Kusuma Januarto, Sp.OG., mengatakan bahwa aborsi merupakan tindakan medis dan setiap tindakan medis memiliki risiko. Dikutip dari Louisiana Department of Health, aborsi memiliki risiko di antaranya infeksi, pendarahan, trauma, bahkan depresi.

Sungguh bagai buah simalakama. Aturan tersebut sejatinya menciptakan beban ganda bagi korban perkosaan. Sudah menjadi korban, harus merasakan pahitnya menggugurkan kandungan. Belum lagi stigma negatif yang didapat dari masyarakat niscaya menambah berat beban korban perkosaan.

Sebelum ada aturan ini pun kasus aborsi sudah marak, setelah aturan ini berlaku tidak menutup kemungkinan kasus aborsi bertambah banyak. Sebab, dalam naungan kapitalisme, aturan yang lahir kerap disalahgunakan demi kepentingan.

Potensi besar adanya praktik suap-menyuap di balik aturan ini pun diungkapkan oleh Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah. Menurutnya, legalisasi aborsi berpotensi disalahgunakan karena banyak celah, salah satunya melalui suap, baik terhadap dokter maupun pihak kepolisian untuk meminta keterangan sebagai korban kekerasan seksual agar bisa aborsi (JawaPos.com, 02/08/2024).

Ironisnya, aturan ini juga tak sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2024. Merujuk undang-undang ini dijelaskan bahwa anak berusia 0 sampai 18 tahun atau bahkan masih di dalam kandungan mendapatkan perlindungan secara undang-undang.

Niat hati mencari solusi, yang ada persoalan rakyat makin bertambah pelik. Bukti, bahwa solusi yang ada hanyalah solusi tambal sulam yang tak menyentuh akar persoalan. Andai mau menelaah, kehamilan akibat perkosaan atau kekerasan seksual sejatinya merupakan buah aturan sekuler yang diadopsi di negeri ini.

Maraknya kasus perkosaan tidak terlepas dari buah kebebasan yang lahir dari rahim sekularisme. Perilaku bebas generasi ini merupakan imbas dari ketidaktegasan negara dalam mengatur regulasi media dan minuman keras. Pornografi dan pornoaksi yang gencar ditayangkan di media nyata merangsang syahwat di tengah generasi bangsa. Sementara itu, masyarakat pun mudah mengakses minum keras karena regulasi yang longgar. Alhasil, syahwat yang diumbar bebas saat akal tak sadar membuat tak sedikit orang yang melakukan tindak kejahatan, termasuk perkosaan.

Andai negara benar-benar peduli terhadap masa depan generasi, semestinya negara bertindak tegas. Menghentikan tayangan yang mengandung konten pornografi dan pornoaksi yang meracuni akal dan menimbulkan syahwat, serta menuntaskan produksi dan peredaran miras yang menjadi induk kejahatan. Sayangnya, dalam naungan sistem kapitalisme yang berasaskan materi, hal ini mustahil diwujudkan oleh negara.

Dalam paradigma kapitalisme, peran negara adalah sebagai fasilitator dan regulator bagi kepentingan para pemilik modal. Tidak heran, jika aturan yang lahir merupakan aturan yang mengakomodasi kepentingan mereka, termasuk regulasi media dan miras.

Sekularisme yang mengakar di negeri ini pun nyata melahirkan paham kebebasan yang makin menjauhkan generasi dari aturan agama. Tidak heran, jika perilaku generasi pun makin bebas, pergaulannya pun makin liar, karena jauh dari syariat.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button