Bukhori Sebut Tiga Tantangan Besar BPKH, Apa Itu?
Lebih lanjut, Ketua DPP PKS ini juga menyoroti persoalan Virtual Account (VA). Bukhori menilai VA atau rekening jemaah untuk menerima nilai manfaat pengelolaan dana haji yang diterima setiap tahunnya harus berwujud riil dan tidak berdasarkan kebijakan yang politis.
“Contohnya, sepanjang tahun 2020 dana VA dialokasikan sebanyak Rp1 Triliun, selanjutnya pada tahun 2021 senilai Rp2 Triliun. Walaupun masing-masing jemaah haji sama-sama menyimpan uang Rp25 Juta, semestinya kebijakannya adalah jemaah haji yang dananya paling lama terendap, maka nilai manfaat yang diperoleh sepatutnya semakin besar,” tandasnya.
Sebab itu, demikian Bukhori melanjutkan, BPKH seharusnya mampu mendesain kebijakan yang mendorong jemaah haji membayar sesuai dengan biaya riil yang berlaku. Tidak hanya itu, supaya jemaah haji merasakan dampak riil keuntungan dari investasi, maka nilai manfaat yang tersimpan di VA sudah semestinya diberikan dalam bentuk riilnya.
“Semua ini perlu proses karena ada masa jeda antara situasi dimana calon jemaah membayar utuh ongkos riil dengan situasi yang berlaku saat ini sebab akan terjadi lompatan yang signifikan,” ucapnya.
Bukhori menambahkan, alasan lain yang melatarbelakangi perlunya penyesuaian Bipih adalah untuk menghilangkan motif politis dibalik murahnya biaya haji sebagaimana berlaku hingga saat ini.
“Ini sudah terlalu politis, bayangkan dari Rp70 Juta menjadi Rp35 Juta! Akar masalahnya berawal dari tujuan pragmatis Presiden tertentu yang ingin memikat hati calon jemaah haji. Bisa dibayangkan, misalnya dari angka 200.000 jemaah, dimana mereka mewakili masing-masing keluarga dari berbagai daerah, minimal dapat diperoleh potensi elektoral sebanyak 25 juta suara. Angka ini jelas menggiurkan,” sambungnya.
“Selain itu, penyesuaian biaya yang rasional juga demi menghindari pertanyaan syar’i, yakni apakah pembagian nilai manfaat melalui VA sejalan dengan syariat atau tidak, dimana hal ini merupakan kewenangan MUI untuk menjawabnya,” bebernya.
Selanjutnya, Bukhori mengungkapkan tantangan kedua untuk mewujudkan pengelolaan dana haji yang berkesinambungan. Melalui paparannya, Bukhori menjelaskan bahwa dalam Visi Saudi Arabia Tahun 2030, Pemerintah Arab Saudi akan membangun Mina menjadi tiga tingkat untuk meningkatkan kapasitas jemaah. Apabila rencana itu berhasil terealisasi, dampaknya adalah bertambahnya kuota haji yang akan diberikan bagi setiap negara, termasuk Indonesia.
“Pada 2033 diprediksi bahwa SDA berbasis fosil (migas) di Arab Saudi tidak akan mampu lagi memberikan pemasukan bagi negara secara memadai. Walhasil, pilihannya adalah beralih dari sektor migas (minyak bumi) ke sektor pariwisata yang dinilai sebagai andalan baru, utamanya penyelenggaraan haji dan umrah,” ungkapnya.
Sebagai informasi, untuk sekali penyelenggaraan ibadah haji pemasukan negara yang diperoleh Arab Saudi dari sektor tersebut dapat ditaksir mencapai Rp150 Triliun, demikian Bukhori melanjutkan. Sektor ini terbukti menjanjikan bagi Arab Saudi mengingat animo masyarakat global, khususnya umat Islam, yang mengunjungi Arab Saudi untuk tujuan haji maupun umrah sangat tinggi dari tahun ke tahun, dimana keuntungan pariwisata ini belum tentu dimiliki oleh negara lain. Indonesia sendiri dalam situasi normal bisa menyumbang 1.100 jemaah umrah, sambungnya.