SUARA PEMBACA

Buzzer Pembawa Keburukan

Universitas Oxford menerbitkan penelitian berjudul ‘The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation’. Dalam penelitian disebutkan bahwa Indonesia menjadi satu dari 70 negara yang menggunakan pasukan siber alias buzzer untuk sejumlah kepentingan sepanjang 2019.

Sejumlah pihak di Indonesia yang menggunakan buzzer adalah politisi, partai politik, dan kalangan swasta. Setidaknya ada tiga tujuan yang diincar para buzzer, yakni menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro-partai, menyerang oposisi, hingga membentuk polarisasi (cnnindonesia.com, 06/10/2019).

Buzzer diartikan sebagai orang yang bertugas mempromosikan suatu hal dengan tujuan untuk mempengaruhi masyarakat agar sepakat dengan apa yang dipromokan. Kegiatan saling mempengaruhi sesungguhnya sebuah kewajaran dalam komunikasi. Apalagi di era digital dimana kecanggihan teknologi membuat kegiatan berkomunikasi semakin mudah dan memiliki jangkauan yang luas, kegiatan saling mempengaruhi menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari.

Hanya saja, yang menjadi masalah ketika buzzer digunakan untuk menyebarkan informasi yang salah, dengan melakukan manipulasi data. Salah menjadi benar, benar menjadi salah. Atau dengan kata lain penyesatan opini publik. Semua tindakan tersebut dilakukan demi meraih kepentingan berupa kekuasaan. Munculnya para buzzer politik ini tentu sangat membahayakan dan merugikan masyarakat.

Menilik dari sudut pandang Islam, apa yang dilakukan oleh para buzzer di atas terkategori sebagai tindakan bohong dan menyebar fitnah. Hal yang bernilai keji menurut Islam. Sebagaimana tersebut dalam Surah Al Baqarah ayat 217: “… Sedangkan fitnah lebih kejam dari pembunuhan ….”. Fitnah menjerumuskan orang-orang pada kesalahan dan keburukan, karenanya Islam sangat melarang tindakan tersebut.

Namun, penemuan Oxford di atas menjadi fakta sekaligus gambaran tentang wajah kekuasaan yang berjalan di negeri ini. Dihasilkan dari proses politik curang dengan melakukan manipulasi data untuk menggiring opini publik, demi suksesi si Tuan.

Kasus buzzer bayaran seolah melegitimasi pernyataan yang sempat viral beberapa waktu lalu bahwa kecurangan merupakan bagian dari demokrasi. Sistem ini tidak mengenal halal-haram. Apapun akan dilakukan demi meraih tujuan politik berupa kekuasaan. Dan sudah menjadi rahasia umum, tingginya ongkos politik dalam sistem ini membuka lebar peluang untuk bertindak curang. Korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan sekelumit tindakan curang yang tumbuh subur.

Pada akhirnya, masyarakat menjadi korban. Kala kekuasaan tak mampu memberi totalitas kepengurusan bagi masyarakat. Karena mereka lebih disibukkan untuk mencapai kepentingan-kepentingan diri sendiri, kelompok maupun partainya, demi langgengnya kekuasaan. Yang terjadi selanjutnya, kepentingan masyarakat akan terus terpinggirkan, sebagaimana yang kita lihat hari ini. Kebijakan-kebijakan yang diberlakukan bukan pro rakyat namun justru membebani masyarakat.

Saatnya umat menyadari, sistem politik yang menumbuh-suburkan kecurangan berdampak amat buruk bagi kehidupan. Maka, cari dan temukan sistem politik terbaik, yang menutup seluruh pintu kecurangan, hingga mampu memaksimalkan pengurusan untuk umat.

Ummu Syaqieb
Pemerhati Sosial Masyarakat, tinggal di Kuningan, Jabar

Artikel Terkait

Back to top button