SUARA PEMBACA

Candu Paylater Membius Remaja

Dunia menjadi mudah seiring dengan kemajuan era digital. Berbagai hal bisa dilakukan dalam waktu singkat termasuk di antaranya berbelanja. Tak ketinggalan e-commerce pun menjadi alat transaksi pada belanja online, termasuk fasilitas kredit berbentuk paylater yang sangat menggiurkan penggunanya.

Kerja paylater sendiri mirip dengan kartu kredit. Meski hanya berbentuk digital (virtual money), bukan fisik, tapi ia menunda pembayaran barang atau jasa, hingga sampai di masa jatuh tempo. Beberapa platform yang menyediakan pembayaran ini seperti Shopee dengan SPayLater, GoPay dengan GoPay PayLater, OVO dengan OVO PayLater, dan lain sebagainya.

Peminat paylater mulai banyak, karena prosesnya mudah dan cepat dibandingkan bank, perusahaan pembiayaan (multifinance), fintech atau pinjol (pinjaman online). Hanya saja tren bayar belakangan ini atau paylater bisa menjerat penggunanya, sehingga akan  terjadi  kredit macet, utang menumpuk dan impulsive buying (kebiasaan berutang).

Di beberapa kasus, telat bayar menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Akibatnya denda berupa bunga, menjadikan kelipatan utang yang terus bertambah. Di sinilah bahayanya. Fitur paylater memang membuat kalap belanja. Tampak manis di awalnya, pastinya akan berakhir dengan kepahitan.

Rentenir gaya baru ini juga berhasil menjerat Gen Z, remaja yang lahir pada tahun 1997- 2012 disinyalir sebagai generasi yang paling adaptif terhadap teknologi. Dalam tangkapan layar cuitan sejumlah pengguna Twitter  menunjukkan tagihan paylater yang membuat mereka merasa sesak membayar.

Survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center dan Kredivo terhadap 3.560 responden pada Maret 2021 menunjukkan bahwa jumlah pelanggan baru paylater meningkat sebesar 55% selama pandemi. Menurut Indef, kasus-kasus pinjaman macet makin banyak terjadi pada pengguna berusia di bawah 19 tahun yang belum berpenghasilan. (Bbcnewsindonesia, 29/12/2022)

Tentu fakta ini membuat miris. Generasi muda mengekor gaya hidup Barat dengan sekularismenya, yang menegasikan peran Allah dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan Islam sebagai sebuah mabda, ada dalam seluruh lini kehidupan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, kehidupan rumah tangga, pergaulan dan sebagainya.

Maka wajar jika pemuda muslim hari ini bingung tatkala ikut-ikutan mengadopsi pemikiran tersebut. Sebab meniadakan agama dalam kehidupan, adalah perkara mustahil bagi seorang muslim. Aturan yang lengkap di dalam Islam, membuat seorang muslim senantiasa berjalan sesuai syariat di sepanjang hidupnya. Maka Islam tidak akan membiarkan manusia melakukan muamalah yang bertentangan dengan syariat.

Tak hanya itu, sekularisme yang berorientasi pada materi, menjadikan tujuan kebahagiaannya hanyalah beroleh materi sebanyak-banyaknya. Gambaran tersebut tampak pada remaja yang terbius paylater. Hedonisme dan konsumerisme yang ada di dalam sekularisme, akhirnya masuk ke dalam kehidupan para remaja.

Konsumerisme adalah pemahaman yang membuat seseorang mengomsumsi atau membeli atau memakai barang-barang secara berlebihan, karena keinginan, bukan karena kebutuhan. Sedangkan hedonisme adalah pemahaman yang diemban seseorang yang ingin meraih kesenangan tanpa batas.

Dari sini tampak baik konsumerisme maupun hedonisme tidak datang dari Islam. Keduanya bahkan mengabaikan nilai halal dan haram. Ditambah lagi pola hidup pamer atau flexing, membuat para remaja ingin terus memperbaiki penampilan dengan merogoh kocek dalam-dalam. Banyak belanja, bayar belakangan. Hingga akhirnya tercekik tagihan yang membengkak.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button