SUARA PEMBACA

Carut Marut Pemilu, Bukti Sistem Demokrasi Gagal

Pesta demokrasi setiap lima tahun sekali dalam rangka pemilihan umum mulai dari pemilihan presiden, DPR, DPD, DPRD serta partai-partai yang akan menduduki kursi di perlemen telah terlaksana pada 17 April 2019 lalu dan diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Di setiap pemilu yang diselenggarakan kali ini penuh dengan carut marut seperti kecurangan, kekurangan surat suara, logistik pemilu terlambat, kotak suara yang rusak hingga menelan korban jiwa. Keterlambatan datangnya logistik terjadi beberpa daerah seperti di Timur Tengah Utara, Nusa TenggaraTimur, dan kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah sehingga daerah tersebut terancam tidak bisa melakukan pencoblosan (tirto.id, 17 April 2019). Selain itu daerah seperti Aceh Utara dan Malaysia terjadi kecurangan yaitu terdapat surat suara yang sudah tercoblos.

Fakta lain menyebutkan banyak kotak suara rusak yang terjadi dibeberapa daerah salah satunya di Kabupaten Bogor. Kerusakan kotak suara ini tak hanya dikarenakan benca alam namun juga karena human error atau kelalaian manusia itu sendiri, kata komisioner KPU Kab Bogor Herry Setiawan kepada Kompas.com, Senin (15 april 2019).

Hal yang lebih memalukan adalah sebelum pemilu berlangsung, di beberapa daerah terjadi serangan fajar, yakni aksi menyogok masyarakat untuk memilih salah satu paslon dengan cara memberikan uang, sembako dan yang lainnya. Money politic nampaknya sudah menjadi hal yang biasa terjadi ketika menjelang pemilu. Badan pengawas pemilu Jawa Timur menyebut, fenomena serangan fajar atau praktik politik uang masih ada dan berpotensi terjadi di hari H pemungutan suara. Kata Aang, kepada Kompas.com,Senin (15 april 2019).

Kondisi carut marut tak hanya terjadi sebelum pemilu. Setelah pemilu berlangsung pun masih saja terjadi. Sepanjang sejarah perhelatan pesta demokrasi, baru terjadi tahun ini telah menelan banyak korban jiwa yang diduga terjadi akibat kelelahan dalam mengurus pemilu dan dalam penghitungan surat suara. Korban KPPS yang meninggal dunia, sampai saat ini ada 225 kata Viyan “Data hingga pukul 18.00 WIB sebanyak 225 petugas KPPS wafat dalam bertugas.” CNN Nasional, Kamis (25 April 2019).

Kecurangan dalam perhitungan surat suara pun ramai terjadi di beberapa daerah. Hal ini menyebabkan di beberapa daerah harus dilakukan penghitungan ulang. Pemungutan suara ulang terjadi di Riau. Sebanyak 30 tempat pemungutan suara di sepuluh kabupaten dan kota Riau akan melakukan pemungutan suara ulang pada 27 April 2019 kata Nugroho Noto Susanto. Liputan 6, Kamis 25 April 2019).

Kericuhan dan carut marutnya pemilu tahun ini membuktikan bahwa pemilu dalam demokrasi tidak memiliki mekanisme yang baik dalam pemilihan seorang pemimpin. Rawan kecurangan, sabotase, dan polemik lainnya. Disamping itu, pemilihan para pemimpin dalam sistem demokrasi nyatanya tidak mampu mewujudkan perubahan mendasar pada negeri ini. Perubahan hanya bertumpu pada orang atau rezim saja, akan tetapi sistem politik dan sistem yang lainnya tetap mengacu pada sistem yang sarat dengan corak kapitalis, dimana sistem ini dasar akidahnya adalah sekularisme, adanya pemisahan agama dari kehidupan, sehingga aturan yang bersumber dari al Quran dan Al hadist tidak boleh mengatur Negara ini. Akibatnya ketika tidak menggunakan aturan agama dan menjauhkannya dari tatanan kehidupan bernegara, suatu hal yang wajar jika pada pemilu terjadi banyak praktik curang, konflik dan carut marut yang terjadi di negeri ini. Dari sisi mekanisme, penyelenggaraan pemilihan umum dalam sistem demokrasi-sekuler telah memakan banyak biaya. Para Caleg dan paslon Capres dan Cawapres pun harus merogoh kocek paling dalam demi bisa melenggang ke istana dan parlemen. Dengan mahalnya mahar politik yang harus dikeluarkan maka tidak heran jika banyak pejabat yang pada akhirnya melakukan korupsi untuk mengembalikan modal mereka agar bisa duduk di kursi pemerintahan.

Namun tidak sedikit juga dari mereka yang tidak tepilih dalam pemilihan mengalami depresi.

Inilah kegagalan sistem demokrasi dalam mekanisme pemilihan pemimpin rakyat. Sungguh berbeda dengan sistem Islam. Sistem islam memiliki mekanisme yang lebih baik dalam pemilihan pemimpin, atau pemilu. Mekanismenya tidak seperti pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi. Pemimpin atau seorang Khalifah dalam Islam dilakukan dengan proses yang cepat, mudah dan minim biaya. Disamping para calon pemimpin yang dipilih adalah sosok-sosok yang memiliki kepribadian islam yang mulia sehingga tiada dari mereka yang sangat berambisi untuk mendapatkan kekuasaan dikarenakan beratnya pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Khalifah akan dipilih umat berdasarkaneimanna, keahlian dan kecakapannya. Para calon Khalifah ditentukan oleh ahlul hali wal aqdi sesuai masukan umat. Kemudian para calon Khalifah tersebut dipilih umat melalui baiat langsung tanpa perdebatan dan saling menjatuhkan lawan. Namun seorang Khalifah dipilih umat karena kesholihan, keimanan, keahlian dan kecakapannya. Para wali (gubernur) dan aparatur negara lainnya cukup dipilih dan ditunjuk oleh Khalifah secara langsung.

Hal ini tidak akan membutuhkan banyak pemborosan biaya maupun menimbulkan banyak kendaladan kekaucaun seperti saat ini dan juga tidak akan mendorong pejabat melakukan tindak korupsi. Oleh karena itu marilah kita tegakan kembali sistem islam. Sistem yang berasal dari Dzat Yang Maha Adil. Sistem yang akan mampu melahirkan sosok pemimpin dambaan umat dan dicintai umat. Wallahu A’lam.

Siti Maryam
Mahasiswa Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.

Artikel Terkait

Back to top button