RESONANSI

Catatan tentang Tragedi Pemurtadan Lewat Pendidikan Islam di Indonesia

Harun Nasution, alumni McGil Kanada, sengaja menonjolkan pahamnya yang tak percaya takdir itu sebagai alasan mengganti kurikulum IAIN (perguruan tinggi Islam se-Indonesia di bawah Depag/ kini Kementerian Agama) tahun 1980-an, dari kurikulum Ahlussunnah diganti dengan kurikulum aliran sesat Mu’tazilah yang tak mencantumkan takdir dalam rukun Islamnya. Alasan Harun Nasution, karena kalau tetap percaya takdir sebagaimana Ahlussunnah maka tidak akan maju-maju.

Kemudian didukung oleh Menag Munawir Sjadzali 1983-1993 dengan secara besar-besaran mengirimkan dosen-dosen IAIN ke negeri-negeri Barat atas nama studi Islam. Itu mengintensifkan program Menag yang lama, Mukti Ali, yang ngotot punya gagasan untuk intensifikasi pengiriman dosen-dosen IAIN ke Barat sejak 1975.

Sepulang dari belajar dari negeri-negeri Barat, dosen-dosen IAIN itu melontarkan pendapat-pendapat aneh (nyleneh). Seperti Nurcholish Madjid alumni Chicago AS melontarkan bahwa Islam bukan nama agama, tapi sikap pasrah, maka orang bukan beragama Islam pun bisa jadi dia Muslim. Menag Munawir Sjadzali sendiri yang alumni London berani mengritik, ayat 11 Surat An-Nisa’ mengenai hukum waris Islam dianggapnya tidak adil. Lontaran-lontaran  nyleneh macam itu sampai disebut oleh Kiai Ali Maksum Krapyak Jogja, pelontarnya bisa murtad.

Meskipun demikian, kurikulum pendidikan tinggi Islam se-Indonesia itu tetap diubah dari Ahlussunnah ke aliran sesat Mu’tazilah, dan para alumni Barat kemudian banyak yang menduduki jabatan penting terutama di perguruan tinggi Islam se-Indonesia.

Akibatnya, pendidikan tinggi Islam itu menjadi pendidikan terbalik. Seharusnya semakin tinggi pendidikannya, maka semakin paham perbedaan haq dan batil sampai mendetil. Tetapi justru kebalikannya, semakin tidak tahu mana yang haq dan mana yang batil. Contohnya, ketika baru keluar dari Madrasah Aliyah pasti paham, aliran Ahmadiyah itu sesat bahkan murtad, karena meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Padahal jelas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam nabi terakhir. Tapi pendidikan tinggi Islam se-Indonesia diarahkan ke pengesahan aliran sesat super sesat macam itu, hingga mengakibatkan tidak bisa membedakan mana yang Islam mana yang kafir.

Bahkan ketika sudah mengenyam pendidikan Islam di negeri Barat, maka justru menjadi pembela aliran sesat. Contohnya, Azyumardi Azra dari IAIN Jakarta kemudian kuliah di Coumbia AS, kemudian jadi Rektor IAIN Jakarta (kini UIN), maka dia gigih jadi pembela aliran sesat Ahmadiyah yang difatwakan sesat dan murtad oleh MUI dua kali, zaman Buya Hamka tahun 1980-an, dan kemudian difatwakan lagi tahun 2005.

Tragedi pemurtadan lewat pendidikan tinggi Islam se-Indonesia itu kemudian disoroti tajam dengan buku ‘Ada Pemurtadan di IAIN (maksudnya perguruan tinggi Islam se-Indonesia) karya Hartono Ahmad Jaiz, terbitan Pustaka Al-Kautsar Jakarta 2005.

Itulah pendidikan tinggi Islam yang kurikulumnya diubah jadi aliran sesat Mu’tazilah, menghasilkan pendidikan terbalik, dari memahami mana yang haq dan mana yang batil menjadi menyamakan antara yang haq dengan yang batil, lalu mendukung kebatilan bahkan mengusungnya, dengan istilah-istilah yang tak dikenal dalam Islam yaitu liberalisme, pluralisme agama, multikulturalisme dan terakhir moderasi beragama oleh Kemenag, Kemendikbud dll. Itu semua adalah pemurtadan atau pemusyrikan. Karena memberi peluang untuk sinkretisme, dan intinya adalah merelatifkan kebenaran Islam (padahal Islam itu benar mutlak, lihat QS. 2 ayat 2), dan Islam itu dianggap relatif sama benarnya dengan agama-agama lain. Itu jelas pemurtadan secara sistematis.

Kemudian moderasi beragama alias pemurtadan- pemusyrikan itu diintensifkan oleh Kemenag dan Kemendikbud kini untuk pendidikan secara keseluruhan terutama di madrasah-madrasah. Itu berarti setelah ada pemurtadan di IAIN (perguruan tinggi Islam se-Indonesia) kini ditingkatkan dan diratakan ke seluruh jenjang pendidikan.

Kezaliman super zalim itu masih ditambah pula, mungkin dananya juga diambil dari kantong-kantong umat Islam yang menjadi mayoritas penduduk negeri ini. Sehingga jauh lebih buruk dibanding istri bengal yang ‘morot’ duit suami namun justru untuk menggugat cerai sang suami.  Nah, betapa kurang ajarnya dalam merusak Islam.

Ya Allah, penerus-penerus Abrahah yang ingin menggempur inti agama itu Engkau lebih tahu untuk diapakan. Allahul Musta’aan.

والله المستعان على ما يصفون.

Walaa haula walaa quwwata Illa billaah…

Hartono Ahmad Jaiz, Mubaligh dan Penulis.

Artikel Terkait

Back to top button