Covid-19 Indonesia, Menanti Negarawan Sejati
Rabu, 18 Maret 2020 adalah hari ketujuh belas keberadaan Covid-19 di Indonesia. Pertama kali hadir di dua orang Depok dan diumumkan oleh RI 1 langsung pada 2 Maret 2020. Dan hingga kini, Covid-19 sudah menginfeksi 227 orang dengan 19 diantaranya meninggal dunia (detik.com, 18/03/2020).
Virus Covid-19 ini memiliki laju penyebaran yang sangat cepat. Akan menjadi bemcana jika tak ada intervensi masif dari pemerintah. Ketika jumlah korban harian sudah tak terkendali, petugas medis pun kewalahan. Maka di saat itulah covid-19 akan menjadi mimpi buruk bagi sebuah negeri.
Berkaca dari apa yang terjadi di Italia, 475 nyawa melayang dalam 24 jam di Negeri Spaghetti, tertinggi di dunia dalam kurun sehari (liputan6.com, 19/03/2020). Petugas medis kewalahan hingga harus mengundi siapa yang dibiarkan meninggal.
Kita tentu tidak ingin hal tersebut terjadi di negeri jamrud khatulistiwa ini. Namun, bisakah kita berharap pada pemerintah saat ini? Jawabannya bisa Ya dan Tidak.
Kita tak bisa berharap pada pemerintah apabila poin-poin ini ada pada mereka.
Pertama, meremehkan bahaya Covid-19 dan jumawa bahwa negeri kita bebas dari virus ini.
Menkopolhukam pernah sesumbar bahwa Indonesia adalah satu-satunya negera terbesar di Asia yang tak kena Corona (cnnindonesia.com, 07/02/2020). Menhub yang kita positif terpapar virus Covid-19 pernah berkelakar, kita kebal Corona karena doyan makan nasi kucing (republika.co.id, 17/02/2020).
Staf ahli utama kantor staf kepresidenan dengan yakin mengatakan bahwa Covid-19 tak berkembang kuat di negara tropis (tribunnews.com, 29/02/2020). Ditambah oleh Menkes yang dengan sombong mengatakan: mereka boleh heran, tapi itu kenyataan (republika.co.id, 11/02/2020). Pernyataan Menkes tersebut untuk menjawab keraguan dunia internasional tentang hasil penelitian Indonesia bebas Corona yang dilakukan oleh pemerintah.
Kedua, tak memiliki persiapan. Akibat meremehkan dan sombong itu, tak ada persiapan sedikitpun untuk menghadapi bahaya corona. Alat pendeteksi virus pun belum punya. Singapura sudah menawarkan sejak Februari lalu namun ditolak oleh Menkes. Baru pekan lalu diterima oleh presiden (tempo.co, 16/03/2020).
Tak ada persiapan, jelas tak ada edukasi di masyarakat. Jangankan masyarakat, ke tenaga kesehatan pun tak teredukasi dengan baik. Akibatnya, sudah ada korban jiwa akibat virus covid-19 dari tenaga medis di Solo. Tragis. Ketika petugas medis memakai jas hujan untuk melindungi diri, bukan baju astronot, disitu sangat terlihat ketidaksiapan pemerintah menhadapi wabah.
Ketiga, lempar tanggung jawab. Semula pemerintah pusat melarang campur tangan pemda. Kecurigaan pusat, virus corona dijadikan panggung politik pemda, apalagi ini mendekati pilkada. Namun, lajunya penyebaran virus menelanjangi ketidakmampuan pemerintah. Pusat lalu membentuk tim gugus tugas di tiap daerah untuk menangani wabah. Pusat hanya menunggu laporan, yang bekerja adalah pemda.
Keempat, tak punya strategi penyelesaian. Berkail-kali WHO menyurati pemerintah. Corona sudah ditetapkan sebagai pandemi. Seharusnya status darurat nasional berlaku untuk Indonesia. WHO juga mengkritik ketidakterbukaan pemerintah pada rakyat.
Alasan pemerintah adalah agar masyarakat tidak panik. Justru ketika rakyat tidak tau siapa dan dimana yang tertular virus, maka rakyat tak bisa menjaga diri sejak awal.
Ketika corona menyapa Indonesia, pemerintah justru memulihkan pariwisata. Meskipun tak pulih-pulih juga, bahkan kolaps. Karena menurut pemerintah, pariwisata adalah sektor paling parah terdampak corona. Dana Rp72 M justru dibuang-buang untuk influencer. Yang mempromokan pariwisata.
Ketika semua negara menutup akses keluar masuk negerinya, Indonesia justru membuka. Wajar jika laju penyebaran virus menjadi tak terkendali. Karena keluar masuknya orang asing tak dibatasi. Padahal covid-19 sudah menyebar di 152 dari 193 negara yang ada di dunia (kompas.com, 17/03/2020).
Penguasa negeri dengan keempat ciri di atas adalah para pemimpin yang tidak visioner dan bukan negarawan sejati. Keberadaan mereka bukan mengurusi rakyat, namun sibuk mengamankan kedudukan. Justru takut kehilangan jabatan dan pundi-pundi rupiah ketimbang nyawa rakyat.
Mahrita Julia Hapsari
Praktisi Pendidikan