KISAH TELADAN

Dakwah Sunan Bonang di Tanah Jawa

Sunan Bonang merupakan satu dari sembilan wali (Walisongo) yang masyhur di Indonesia, terutama dalam misi penyebaran ajaran Islam di tanah Jawa. Sunan Bonang dengan nama aslinya Makhdum Ibrahim adalah putra pertama dari Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan istrinya, Dewi Condrowati (Nyai Ageng Manila).

Lahir di Bonang, Tuban, Jawa Timur pada Muharram 1456 M, Makhdum Ibrahim memiliki adik perempuan bernama Nyai Gede Maleka dan adik laki-laki bernama Syarifuddin. Makhdum Ibrahim wafat pada usia 69 tahun pada 1525 M. Makamnya terletak di Tuban, Jawa Timur.

Beberapa karya Sunan Bonang tentang pengalamannya menempuh jalan kesufian di antaranya, (1) Suluk Wujil, (2) Suluk Wasiyat, (3) Suluk Pipiringan, (4) Suluk Khalifah, (5) Suluk Wregol, (6) Suluk Kaderesan dan sebagainya. Ada pula karangan dalam bentuk prosa, salah satunya yakni Suluk Sunan Bonang yang sampai saat ini tersimpan rapi di Universitas Leiden, Belanda.

Sejak Makhdum Ibrahim dan adik-adiknya masih kecil, Sunan Ampel memberikan pendidikan yang sama seperti apa yang diberikan orang tuanya di Kamboja dulu, yakni memberikan pendidikan agama yang ketat. Sunan Ampel juga sangat bijaksana dalam mendidik anak-anaknya. Dengan begitu, Makhdum Ibrahim menjadi anak yang taat terhadap agama dan selalu melaksanakan kewajibannya dengan baik, baik itu kewajiban sebagai seorang anak maupun kewajiban sebagai seorang hamba.

Sebelum menjadi ulama yang masyhur, Makhdum Ibrahim menjalani pendidikan di pesantren ayahnya. Beliau sangat bersungguh-sungguh dalam belajar, hingga pada suatu saat Makhdum Ibrahim merasa ilmunya sudah cukup dan saatnya untuk mengamalkan apa yang sudah dipelajari. Makhdum Ibrhim meminta izin kepada Sunan Ampel untuk menyebarkan agama Islam, dan Sunan Ampel mengizinkannya seakan memberikan kepercayaan penuh terhadap putranya, padahal Sunan Ampel sudah tahu seberapa tinggi kemampuan Makhdum Ibrahim.

Usai pamit kepada kedua orang tuanya, Makhdum Ibrahim berangkat menuju arah utara. Di sisi lain, ternyata Sunan Ampel telah berangkat mendahului putranya. Sunan Ampel meminta bantuan murid yang paling ia cintai, Sunan Giri (Raden Paku) untuk menggoda Makhdum Ibrahim dengan menawarkan tuak. Sesuai rencana, di tengah perjalanan di tempat yang sepi, Makhdum Ibrahim bertemu dengan Raden Paku. Raden Paku menggoda Makhdum Ibrahim dengan menawarkan tuak yang ia letakkan di dalam guci. Makhdum Ibrahim terheran-heran dan tidak menyangka bahwa Raden Paku yang taat pada agama itu mengaku suka minum tuak.

Melalui dialog yang cukup panjang, akhirnya Makhdum Ibrahim terpengaruh bujukan Raden Paku. Sayangnya, Raden Paku menjatuhkan guci itu dari pundaknya seakan tidak sengaja dan ia berpura-pura menyesali perbuatannya. Makhdum Ibrahim nampaknya kecewa, kemudian Raden Paku meminta maaf dan mengatakan bahwa di rumahnya masih ada guci-guci tuak. Raden Paku menawarkan Makhdum Ibrahim untuk ikut bersamanya, tanpa pikir panjang, Makhdum Ibrahim menerima tawarannya. Sebelum berangkat ke rumah Raden Paku, ia bertanya hendak pergi ke mana Makhdum Ibrahim sebenarnya. Makhdum Ibrahim mengabaikan pertanyaan itu dan meminta untuk segera ke rumah Raden Paku untuk minum tuak sepuasnya. Dalam hati Raden Paku sungguh terkejut, ternyata putra gurunya ini telah terperangkap dalam rayuan setan yang sengaja direncakan Sunan Ampel melalui Raden Paku.

Singkat cerita, di dalam rumah Raden Paku, Makhdum Ibrahim mendesaknya agar segera mengambil tuak. Di saat itu pula, Sunan Ampel datang bagaikan tamu. Makhdum Ibrahim sangat ketakutan dan Raden Paku bersikap seakan-akan dia yang paling bersalah. Dengan wajah tenang, Sunan Ampel menyapa keduanya dan berkata, “Dengan demikian kalian sebagai anak muda ternyata kalah cepat dengan orang tua sepertiku. Dan itulah yang membuat aku heran, mengapa pemuda zaman sekarang tidak gesit seperti pemuda pada zamanku dulu. Kalian mungkin terlalu banyak bersantai di jalanan sehingga sering lupa pada maksud dan tujuan yang sebenarnya.” Mereka berdua menundukkan wajahnya dengan rasa penuh dosa.

Pada saat itu, hukuman bagi orang yang berbohong adalah dipotong lidah. Makhdum Ibrahim dan Raden Paku bersedia menjalani hukuman tersebut. Tetapi jika Sunan Ampel memotong lidah mereka, maka mereka tidak bisa membaca ayat suci lagi. Jadi, Sunan Ampel masih mengampuni Makhdum Ibrahim dan Raden Paku, namun mereka berdua tidak diizinkan kembali ke Ampel sebelum hafal seluruh isi Al-Qur’an. Makhdum Ibrahim sangat sedih dan kecewa atas dirinya.

Sandiwara Raden Paku sudah berakhir, ia bersyukur karena putra gurunya itu tidak mengetahui bahwa apa yang ia katakan tentang guci tuak sesungguhnya hanyalah bohong. Dalam hati Raden Paku berkata, “Sungguh bijaksana Sunan Ampel mendidik anaknya. Ia tidak pernah mengatakan bodoh pada orang yang dungu sekalipun.” Ini semua sengaja dilakukan Sunan Ampel untuk menguji kemampuan putranya. Demikian salah satu kisah menarik yang pernah dialami Sunan Bonang saat remaja.

Sunan Bonang merupakan sosok ulama yang ahli dalam berbagai bidang. Beliau berdakwah melalui sastra sufistik, tembang macapat, dan wayang. Beliau juga memanfaatkan gamelan Jawa yang tadinya bercorak Hindu menjadi nuansa Islami. Salah satu tembang karyanya adalah Tombo Ati. Dalam seni pewayangan, beliau sangat pandai mendalangi lakon sehingga para penikmat wayang menjadi tertarik, dalam hal ini beliau juga tidak lupa untuk memasukkan ajaran-ajaran Islam di dalamnya.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

BACA JUGA
Close
Back to top button