Dana Haji itu Amanat, Bukan untuk Diembat
Siapa yang tak ingin berhaji? Saya yakin jika setiap muslim ditanya apakah ada keinginan berhaji? Jelas ada. Karena haji adalah salah satu ibadah rukun Islam yang kelima. Rasanya belum afdol bila rukun Islam yang kelima ini tak ditunaikan. Dari situ, umat Islam terdorong untuk menabung dan mengalokasikan sebagian hartanya untuk berhaji.
Dalam upaya itu, ada yang berlelah-lelah dulu menabung. Ada pula yang begitu mudah berangkat haji berkali-kali lantaran kondisi finansial yang mumpuni. Banyak kisah bertutur mengenai suka duka perjuangan berangkat haji ke Baitullah. Kisah-kisah insipiratif itu bisa kita temukan di banyak tulisan yang berserakan di media sosial atau tuturan orang terdekat atau tetangga kita sendiri.
Sayangnya, pandemi covid-19 menuntut kita menahan diri pasca dibatalkannya pemberangkatan haji tahun 2020. Bagi peserta jamaah haji yang berangkat tahun ini harus menunggu kembali hingga 2021. Sampai Arab Saudi membuka jalur dan akses ke Baitullah.
Pada 2 Juni Menteri Agama mengumumkan tidak memberangkat jamaah haji 2020 ke Arab Saudi. Pertimbangannya, karena pandemi global covid-19 belum berakhir. Belakangan, yang viral bukan penundaan pelaksanaan ibadah hajinya, namun ihwal dana US$600 juta dipakai untuk memperkuat rupiah di tengah pandemi virus corona.
Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Kementerian Agama mengaku tengah mengelola dana haji sebesar Rp135 triliun dalam bentuk Rupiah dan valuta asing per Mei 2020. Kepala BPKH Anggito Abimanyu mengatakan dana dikelola secara profesional lewat instrumen syariah yang aman. Anggito menjelaskan informasi yang menyebut dana haji dipakai untuk perkuat rupiah tidak benar.
Hingga 3 Juni 2020, tagar #BalikinDanahaji masih memuncaki trending topik di twitter. Bentuk protes publik dalam wujud virtual itu bisa dimengerti. Beberapa faktor yang memicu reaksi tersebut diantaranya:
Pertama, haji adalah bagian rukun Islam. Inilah yang mendrong umat Islam berlomba-lomba mendaftar antrian keberangkatan haji. Demi menyempurnakan iman. Sekaligus menjajaki tanah kelahiran Nabi Shallallahu alaihi wa sallam beserta sejarah mulianya. Kita mungkin sering mendengar banyak kisah haru biru mewarnai peserta haji selama beribadah di tanah suci.
Karena dorongan iman dan ketetapan hati, mereka rela menanti lama. Mereka ikhlas menabung untuk memenuhi biaya yang bisa dibilang tidak sedikit. Lalu tetiba ada kabar berita yang cukup mengguncang jiwa. Dana haji tahun ini isunya direlokasi. Dipakai untuk penguatan rupiah. Kan keterlaluan.
Kepala BPKH, Anggito Abimanyu pun mengklarifikasinya. Ia menyebut pemberitaan mengenai dana US$ 600 juta diucapkan di acara internal Halal Bihalal Bank Indonesia pada 26 Mei 2020, bukan setelah pemerintah mengumumkan haji ditunda pada 2 Juni 2020. “Pernyataan tersebut adalah bagian dari ucapan silaturahmi secara online kepala BP-BPKH kepada Gubernur dan jajaran Deputi Gubernur BI,” jelasnya.
Mencermati klarifikasinya, menurut saya itu bukan klarifikasi. Karena pada intinya sama saja. Meski ia mengklaim dana itu aman, tapi di satu sisi ia juga menyebut jika tidak dipergunakan akan dikonversi ke dalam mata uang rupiah dan dikelola BPKH. Pertanyaannya, mengapa harus dikonversi? Setelah dikonversi, lalu dikelola untuk apa? Ini yang harus dijelaskan ke publik.