Dapatkah Indonesia Berhenti Berutang?
Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali. Begitulah gambaran perjalanan utang negara sejak merdeka yang naik terus tak pernah bisa turun.
Pengakuan kemerdekaan dari Belanda ditebus dengan warisan utang kolonial sebesar Rp88 triliun. Hampir 32 tahun presiden Soeharto berkuasa, utang negara melesat menjadi Rp551 triliun. Krisis ekonomi dan gejolak politik masa presiden BJ Habibie, menyebabkan utang negara naik 70 % menjadi Rp939 triliun.
Hanya satu tahun berkuasa, Presiden Gus Dur mewariskan utang yang gemuk sebesar Rp1.271 triliun. Naik lagi menjadi Rp1.298 triliun pada masa presiden Megawati. Dua periode kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), utang negara naik dua kali lipat menjadi Rp2.608,8 triliun.
Utang membengkak luar biasa terjadi dalam dua periode kepemimpinan Jokowi. Juli lalu negara menarik utang baru sebesar Rp266,3 triliun. Angka ini melonjak sebesar 36 % dibandingkan tahun lalu. Per juli 2024, total utang negara mencapai Rp8.502,69 triliun. Mengalami kenaikan 325 % dari utang masa presiden SBY. Gila.
Gelagatnya presiden terpilih Prabowo akan melanjutkan ‘proyek’ utang tersebut. Karena Prabowo berniat menambah utang untuk mewujudkan janji kampanyenya. Prabowo menegaskan tak mau ada penghalang yang membelenggu dirinya terkait utang. Artinya ke depan Prabowo setali tiga uang dengan presiden sebelumnya terkait kebijakan utang negara.
Utang Negara Aman dan Rasional?
Pemerintah selalu mengklaim utang negara aman. Karena masih berada di bawah 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pemerintah berkilah tak hanya Indonesia yang berutang. Hampir 97 % negara di dunia mempunyai utang. Negara maju pun seperti China, Rusia, Amerika Serikat, Inggris, Jepang doyan utang.
Pemerintah ingin membangun infrastruktur untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memperluas kebijakan fiskal untuk meningkatkan sumber daya manusia. Sedangkan pendapatan negara dari pajak dan non pajak tak memenuhi target. Pemerintah pun berdalih utang solusi rasional menutupi defisit anggaran tersebut.
Realitanya dalam 10 tahun terakhir, pembayaran bunga utang negara nyaris menembus 500 triliun/tahun. Dengan porsi pembayaran bunga utang dalam APBN menduduki posisi tertinggi. Selalu terjadi keseimbangan primer negatif dalam APBN kecuali tahun 2023. Artinya negara terpaksa berutang untuk membayar utang dan bunganya. Gali lubang tutup lubang.
Efeknya ruang fiskal negara semakin sempit. Wajar pemenuhan kebutuhan rakyat sekarat dan kesejahteraan rakyat jauh panggang dari api. Alarm bahaya ekonomi negara sudah berbunyi. Makin ‘stres’ jika rupiah terdepresiasi karena besaran utang dan bunganya semakin membengkak. Krisis keuangan akan menjadi tsunami bagi negara. Negara bangkrut di ambang mata. Harusnya pemerintah belajar dari Srilanka, Zimbabwe, Yunani, Ghana, dan Ekuador yang bangkrut karena utang. Tak layak jatuh pada lubang yang sama.
Indonesia tanah syurga. Tongkat dan kayu menjadi tanaman. Sumber Daya Alam (SDA) melimpah ruah, tak terhitung lagi. Kemenkeu (2014) melansir bahwa jika seluruh SDA Indonesia dicairkan dalam bentuk uang akan menghasilkan ratusan ribu triliuan rupiah. Lantas rasionalkah Indonesia menggantungkan sumber pendapatan pada pajak dan utang?
Indonesia ibarat tikus mati di lumbung padi, haruslah diakui ada yang salah dalam tata kelola negara. Pajak dan utang adalah denyut nadi sistem ekonomi kapitalisme.
Indonesia secara gamblang mengadopsi sistem ini. Sistem ini mengagungkan kebebasan kepemilikan individu (liberalisasi) dengan standar kekuatan modal. Termasuk kebebasan dalam kepemilikan SDA atau aset strategis negara lainnya.
Akibatnya pengelolaan SDA bukan pada tangan negara. Tetapi diserahkan pada pemilik modal berupa badan usaha (korporasi) baik atas nama swasta, asing maupun aseng. Negara hanya berperan sebagai regulator. Dari peran ini negara hanya mendapat ‘jatah’ yang tak sepadan. ‘Jatah’ ini lah yang masuk ke negara sebagai sumber pendapatan non pajak. Liberalisasi ekonomi hari ini, terbukti tak memberikan keuntungan finansial bagi negara. Wajar akhirnya negara buntung.