Darurat KDRT Mendera Anak, Sekularisme Rusak Bangunan Keluarga
Seorang anak berinisial D (7) diduga menjadi korban penganiayaan dan penyekapan yang dilakukan oleh ayah kandung, ibu tiri, dan keluarga dari ibu tiri korban. Dugaan penganiayaan dan penyekapan tersebut dilakukan di rumah terduga pelaku yang berada di wilayah Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.
Kasus penganiayaan dan penyekapan D diketahui oleh warga pada Senin (9/10/2023), setelah korban berinisial D berhasil kabur dari kamar penyekapan dan meminta tolong ke rumah tetangga. Salah satu warga berinisial M mengungkapkan kondisi korban sangat memprihatinkan. Kondisinya sangat kurus dan penuh luka di sekujur tubuh, sedangkan kedua tangannya berwarna putih seperti bekas luka bakar. (surya.co.id, 12/10/2023).
Sedih, belum hilang dari benak publik kisah tragis Muhammad Rauf (13), warga Desa Parigimulya, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat yang tewas dihabisi nyawanya oleh ibu kandungnya N (43), paman S (24) serta kakeknya W (70). Kini, publik kembali disuguhi kasus penganiayaan dan penyekapan yang dialami oleh anak D. Publik pun bertanya-tanya, kapan kasus kekerasaan pada anak akan usai?
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengungkapkan ada 21.241 anak menjadi korban kekerasan pada 2022. Jumlah tersebut mencakup kekerasan baik di dalam rumah tangga maupun di luar seperti tempat pendidikan, lingkungan, dan lainnya. (dataindonesia.id, 07/03/2023).
Menurut Guru Besar Kehormatan Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Ma’ruf Cahyono, kekejaman yang dialami oleh anak banyak terjadi akibat kekerasan dalam rumah tangga. Anak-anak yang dalam keluarga yang dipenuhi kekerasan adalah anak yang rentan dalam bahaya.
Ma’ruf pun mengungkapkan bahwa kini kekerasan dalam rumah tangga terjadi di semua tingkat sosial dan ekonomi. Lingkungan rumah yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, justru menjadi lahan subur praktik kekerasan. (tempo.co, 16/05/2023).
Sungguh, kasus kekerasan anak di lingkungan keluarga makin mengkhawatirkan. Sehingga tidak dapat disangkal bahwa kasus ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Mulai dari faktor ekonomi, kelabilan emosi, kerusakan moral, hingga kelemahan iman. Semua faktor tersebut sejatinya muncul dari penerapan sistem sekularisme-kapitalisme yang mendekap negeri ini.
Sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan nyata menjadikan keluarga Muslim jauh dari pemahaman Islam yang benar dan paripurna. Tidak heran, jika syariat Islam yang memiliki aturan yang komprehensif dalam keluarga tak lagi dijadikan pedoman bagi keluarga-keluarga Muslim. Akibatnya, nilai-nilai Islam pun terkikis di tengah keluarga.
Di sisi lain, arus kapitalisasi dan liberalisasi yang begitu deras juga turut ambil peran dalam menggerus nilai-nilai Islam dalam keluarga. Sehingga berujung pada menggunungnya masalah keluarga yang kian hari kian parah.
Tidak dimungkiri, terkikisnya nilai-nilai Islam di tengah keluarga berbuah konsekuensi terganggunya relasi antara suami dan istri. Hak dan kewajiban suami-istri yang telah diatur oleh syariat menjadi terabaikan begitu saja. Sehingga memunculkan setumpuk masalah keluarga yang tak dapat terhindarkan, seperti kekerasan, perceraian, dan ketidakharmonisan antaranggota keluarga. Bangunan keluarga yang rapuh ini jelas berimbas pada nasib anak-anak.
Ironisnya, berbagai undang-undangan yang ada, seperti undang-undang tentang perlindungan anak dan tindak pidana kekerasan dan seksual tidak mampu menuntaskan masalah KDRT yang mendera anak. Sebab, undang-undang tersebut lahir dari rahim sekuler yang tidak sejalan dengan fitrah manusia. Undang-undang tersebut justru makin membuktikan bahwa negara abai dalam mengurus urusan rakyatnya.
Menumpuknya persoalan keluarga jelas membutuhkan solusi solutif. Sayangnya, solusi ini terbukti mustahil ditemukan dalam naungan sistem sekuler saat ini. Sistem ini justru menjadi biang kerok rusaknya bangunan keluarga. Solusi solutif ini niscaya hanya akan ditemui dalam naungan sistem Islam.