Darurat Kenakalan Remaja, Ada Apa dengan Generasi?
Tindak kenakalan remaja makin tak terkendali. Salah satu yang cukup viral adalah seorang siswa SMK berinisial JND (17) yang menjadi pelaku pembunuhan satu keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan tiga anaknya. Peristiwa tersebut terjadi pada 6-2-2024 di Kabupaten Penajem Paser Utara, Kalimantan Timur.
Kasus pembunuhan berawal dari hubungan asmara pelaku yang tidak direstui orang tua korban berinisial R (15). Selain membunuh, pelaku juga sempat merudapaksa ibu dan korban RJS yang telah menjadi mayat. Setelah itu pelaku juga mengambil ponsel dan uang korban sebesar Rp 363 ribu dan pulang ke rumah dan berganti pakaian. Diketahu bahwa sebelumnya, pelaku telah mabuk-mabukan dengan teman-temannya.
Menurut keterangan polisi, pelaku mengaku sakit hati dan dendam kepada korban R. Sebelumnya, pelaku yang juga merupakan tetangga korban sering cekcok. Belakangan, pelaku mengaku membunuh bukan karena dendam atau sakit hati, tetapi membutuhkan uang untuk membayar biaya servis HP.
Kasus ini menambah deretan panjang kebobrokan generasi di bawah asuhan sistem sekularisme. Peristiwa memilukan ini harusnya menjadi alarm keras, terutama bagi dunia pendidikan. Mengapa seorang pemuda bisa begitu keji membunuh banyak nyawa?
Darurat Kenakalan Remaja
Menurut data dari Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham, terjadi tren peningkatan kasus anak berkonflik dengan hukum selama 2020—2023. Per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Sebanyak 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sedangkan 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana.
Jika dibandingkan dengan data tiga tahun lalu, jumlah anak yang terjerat hukum belum pernah menembus angka 2.000. Menilik kondisi pada 2020 dan 2021, angka anak tersandung kasus hukum 1.700-an orang, lalu meningkat di tahun berikutnya menjadi 1800-an anak. Tren yang cenderung meningkat ini menjadi alarm bahwa anak-anak Indonesia sedang tidak baik-baik saja dan menuju pada kondisi yang problematik dan darurat kriminal. (Kompas, 29-8-2023).
Kalau pelaku satu atau dua orang saja, mungkin bisalah disebut kesalahan personal. Akan tetapi, jika pelaku kriminal pelajar sudah mencapai ratusan hingga ribuan, ini bukan lagi masalah kasuistik yang diselesaikan dengan perbaikan pola didik keluarga semata, melainkan sudah menjadi masalah sistemis yang perlu ada solusi fundamental.
Penyebab Kriminalitas Pelajar
Jika masalahnya sudah ranah sistem, penyebab beringas dan sadisnya pelajar hari ini adalah sistem sekularisme. Inilah harga yang harus dibayar dalam sistem yang jauh dari aturan Islam. Sistem ini menghasilkan generasi amoral, bersifat parasit, dan daya rusaknya sangat dahsyat. Bukan hanya keluarga, masyarakat dan negara pun ikut terimbas. Seperti apa daya rusaknya?
Pertama, keluarga. Keluarga memiliki peran kunci dalam pembentukan kepribadian anak. Kehidupan keluarga yang tidak stabil, kurangnya perhatian orang tua, dan pola asuh yang salah akan berdampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak. Pola pikir orang tua sekuler akan melahirkan generasi sekuler yang tidak paham agama.
Kedua, masyarakat. Dalam sistem sekuler, masyarakat cenderung menormalisasi perilaku yang sebenarnya menyalahi aturan Islam, seperti budaya pacaran, hedonistik, konsumtif, permisif, serta gaya hidup liberal. Bahkan, sebagian masyarakat menganggapnya sebagai bentuk modernisasi kehidupan. Alhasil, generasi sangat dekat dengan kehidupan sekuler liberal yang mendegradasi nilai moral dan akhlak.