NUIM HIDAYAT

Demokrasi Liberal vs Demokrasi Islam

Ilmuwan Amerika Fukuyama menyatakan bahwa akhir sejarah manusia (the end of history) adalah demokrasi liberal. Menurutnya saat ini adalah akhir sejarah manusia, dimana demokrasi liberal telah dianut ‘ratusan negara’. Benarkah demikian?

Ternyata tidak. Amerika sebagai negara pelopor demokrasi liberal kini mengalami ‘ekonomi yang kacau’, nilai-nilai Amerika juga mulai dipertanyakan. Amerika mengalami kemerosotan moral yang luar biasa. Invasinya ke Irak yang menyebabkan kematian lebih dari satu juta orang, tidak dibenarkan oleh agama apapun. LGBT yang merebak di negaranya juga menjadi pertanyaan besar bagi para cendekiawan. Di samping tentu saja pornografi dan pelacuran yang banyak di negeri itu, menjadi persoalan tersendiri. Belum lagi sifat-sifat egoisme, hedonistis, dan semacamnya yang merebak di negerinya.

Kemerosotan moral yang dialami Amerika ini, menjadikan banyak cendekiawan mencari alternatif lain bentuk demokrasi yang diharapkan menyejahterakan manusia.

Bentuk kerajaan tidak menjadi alternatif karena dalam kerajaan tidak ada kebebasan berpendapat. Hilangnya kebebasan berpendapat, masyarakat menjadi penakut dan ilmu menjadi tidak berkembang. Lihatlah negara-negara yang berbentuk kerajaan saat ini (seperti Arab Saudi), ‘ilmu tidak berkembang di sana’. Bagaimana ilmu mau berkembang, ulama-ulama yang kritis kepada kerajaan, atau ulama yang menulis menentang kerajaan, langsung ditangkap dan bisa dihukum mati.

Kerajaan mungkin cocok untuk zaman dulu. Ketika teknologi informasi belum berkembang. Kini teknologi informasi berkembang begitu hebatnya, bentuk kerajaan sudah tidak cocok lagi untuk manusia masa kini. Calon raja yang berasal dari anak raja tidak menjamin ia adalah kepala negara (manusia) terbaik. Bahkan anak raja yang diasuh dengan pemanjaan hidupnya, seringkali lebih bodoh dari anak masyarakat miskin di negara kerajaan itu. Anak-anak orang miskin karena ia hidup dalam kemiskinan bisa lebih tangguh dan ‘struggle’ dalam menjalani kehidupan. Ia bisa mencari ilmu dan mencari harta lebih tangguh daripada anak-anak raja.

Bagaimana dengan demokrasi Islam? Demokrasi Islam bisa dikatakan gabungann antara teokrasi dan demokrasi. Abul A’la Maududi, ulama besar Pakistan, menyebutnya sebagai teodemokrasi, bentuk negara yang terbaik. Mohammad Natsir, cendekiawan ternama di Indonesia menyebutnya dengan teistik demokrasi, demokrasi berketuhanan. Mohammad Hatta, sang proklamator menyebutnya sebagai demokrasi Islam.

Demokrasi Islam, maknanya demokrasi yang dipagari oleh nilai-nilai Islam. Demokrasi liberal memang ada nilai-nilai yang bagus di dalamnya, seperti kebebasan berpendapat, transparansi kekayaan pejabat, saling mengawasi antar lembaga, pers bebas dan lain-lain.

Tapi sayangnya demokrasi liberal tidak bisa membatasi masyarakatnya yang kecanduan pornografi, kecanduan narkoba, minuman keras dan lain-lain. Juga tidak bisa mengatasi pelacuran, pembunuhan, kezaliman kepada rakyatnya sendiri atau negara lain, ekonomi yang timpang dan lain-lain.

Dalam demokrasi Islam, masyarakat didorong untuk kreatif. Kreativitas hanya dilarang bila melanggar nilai-nilai Islam. Seperti kreativitas dalam pornografi, kreativitas rumah pelacuran, kreativitas senjata militer, kreativitas manajemen bunga bank (riba) dan lain-lain.

Dalam demokrasi Islam, pers didorong untuk bebas. Bebas sekeras-kerasnya untuk menghukum pejabat yang korupsi, pejabat yang menzalimi rakyatnya, pejabat yang menumpuk kekayaan pribadi, pejabat yang bermewah-mewah dan lain-lain.

Dalam demokrasi Islam, nilai-nilai Islam harus menjadi panduan bagi para pejabat. Para pejabat harus mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi. Tidak boleh misalnya pejabat bergaji di atas 100 juta sebulan, sementara 60 juta rakyat masih miskin seperti saat ini terjadi di negeri kita. Para pejabat punya rumah dan bermobil mewah, sementara puluhan juta rakyat tidak punya rumah.

Kaya tidak dilarang. Tapi kaya dari hasil uang rakyat (pejabat negara), sementara penduduknya jutaan masih miskin, dilarang. Kalau mau kaya, jangan jadi pejabat. Kaya dari usaha bisnis, wiraswasta di luar menjadi pejabat negara, tidak dilarang.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

BACA JUGA
Close
Back to top button