OPINI

Di Balik Si Cantik Segitiga Rebana

Lima juta lapangan kerja disiapkan untuk para generasi Z dan Milenial Jawa Barat, jika Kawasan Strategis Rebana ini berhasil dibangun. Sekitar 2000-an perusahaan 4.0, baik lokal dan global. Terletak diantara Cirebon-Pelabuhan Patimban-Bandara Kertajati, menjadikan Segitiga Rebana ini sebagai kawasan pertumbuhan ekonomi terbaik dan tercanggih se-Indonesia.

Jika berhasil, menurut prediksi, kehadiran si cantik Rebana ini akan membuat pertumbuhan ekonomi Jawa Barat melompat ke 10% di 2030. Maka sejak 2019 mulai didesain tata ruang dan urban desain yang go green dan sustainable. Insyaallah 2020 kita mulai ngabret, menuju JabarJuara, demikian disampaikan Ridwan Kamil. (Metropolitancirebonraya, 11/5/2019)

Gubernur Jawa Barat ini memastikan kawasan ini dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Jabar akan dirancang paling maju dibanding kawasan lain di Jabar sekaligus mengakomodir mulai relokasinya industri-industri padat karya yang bertebaran di sejumlah daerah terutama di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum.

Menurutnya konsentrasi pembangunan ke wilayah tersebut seiring dengan mulai dibangunnya Pelabuhan Internasional Patimban, Subang; beroperasinya Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati, Majalengka yang terkoneksi dengan tol Cikopo-Palimanan (Cipali) dan tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu). “Saya akan kawal opportunity ekonomi kawasan ini agar tidak berantakan,” tegasnya.

Tingginya kenaikan upah minimum regional (UMR) setiap tahun membuat jarak antara upah di kawasan Barat dan Timur semakin jauh. Kesenjangan ekonomi sulit dihindari. Industri di kawasan Jakarta-Bekasi-Karawang terhitung fase jenuh, sehingga UMR dan harga lahan untuk ekspansi pabrik naik. Beberapa pabrik mulai tutup.

Maka muncul wacana untuk pindah ke area Jawa Tengah dengan UMR yang lebih murah. Bagi Jawa Barat yang sudah diterpa dengan masalah pengangguran, hal ini merugikan. Akan tetapi, surplus demografis di Jawa Barat diharapkan mampu mengatasi kebutuhan akan industri dengan UMR yang lebih murah. Terlebih lagi ketiga kawasan ini adalah cluster kemiskinan yang cukup tinggi di Jawa Barat.

Kemudian muncul kebutuhan untuk mencari pusat pertumbuhan ekonomi baru yang kelak akan menjadi penyangga Jawa Barat dan Bekasi (Jababeka) dan didukung oleh infrastruktur yang matang terhubung dengan aneka moda transportasi udara-laut-darat yaitu 3 titik infrastruktur strategis baru (Pelabuhan Patimban, BIJB Kertajati, Tol Cipali-Cisumdawu).

Selain menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi baru, Segitiga Rebana pun dianggap menjadi ruang yang tepat relokasi industri sekaligus menunjang rencana pengusaha beralih ke Jawa Tengah.

Dampak Segitiga Rebana

Dari sisi kesempatan memperoleh lapangan kerja, tampaknya proyek ini menguntungkan umat. Akan tetapi jika Pemerintah tidak menyiapkan sumber daya manusia (SDM) dengan keahlian dan ketrampilan yang tepat, maka posisi strategis tetap akan didatangkan dari luar. Sementara bagi penduduk lokal, cukup sebagai buruh. Atau bisa jadi tetap menganggur sebab tidak terserap industri.

Dari sisi masuknya investasi di wilayah industri baru, juga mengkhawatirkan. Modal asing atau swasta selalu berdampak buruk sebab dibarengi dengan perubahan gaya hidup. Asimilasi kultur mengakibatkan masyarakat hedonis, materialistik dan konsumtif, adalah efek samping dari kapitalisme. Jauh dari norma agama dan nilai Islam, sehingga akan muncul berbagai persoalan baru yang menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah.

Belum lagi dari sisi kerusakan lingkungan. Limbah produksi, jika tidak dikelola dengan benar akan merusak air, udara dan lingkungan tempat tinggal. Keberadaan pabrik sarat dengan persoalan limbah. Dibutuhkan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang tepat agar kesehatan dan keamanan masyarakat tetap terjaga.

Dari sisi ilmu ekonomi, lahirnya Segitiga Rebana adalah konsekuensi logis terhadap akses intermodal terintegrasi (Pelabuhan-Kereta Cepat-Jalan Tol-Bandara Udara). Ditambah jenuhnya kawasan Jababeka dan kebutuhan industri akan adanya buruh murah. Infrastruktur menjadi stimulus roda ekonomi sekaligus menjadi urat nadi bagi distribusi barang, jasa dan modal ke daerah-daerah.

Hanya saja karena berbasis kapitalisme sekuler, kepentingan umat tidak akan menjadi perhatian. Ideologi ini mengutamakan individu pemilik modal. Sebagaimana terlihat pada pembangunan infrastruktur. Pelabuhan, kereta cepat, bandara, jalan tol adalah milik negara bukan milik individu pemilik modal. Oleh sebab itu, penggunaannya pun seharusnya untuk memenuhi hajat hidup orang banyak, bukan untuk memutar roda perekonomian para kapital.

Biaya pembangunan infrastruktur berbasis kapitalis, didapat dari asing atau swasta. Pinjaman jangka panjang disertai riba, pada akhirnya menjerat masyarakat. Melalui mekanisme tertentu, pada akhirnya masyarakat juga yang harus menanggung utang. Baik itu dengan memasang tarif yang tinggi, atau melalui jalur pajak. Padahal jelas-jelas Allah mengharamkan riba.

Kesenjangan ekonomi, juga akan terjadi antara pemilik modal dan masyarakat lokal. Dampak industrialisasi menyebabkan inflasi, akan mempengaruhi tingginya kriminalitas di wilayah tersebut. Masyarakat lokal menjadi kaum buruh atau pengangguran karena tidak terserap sebagai tenaga kerja dengan keahlian yang pas-pasan.

Oleh sebab itu perlu dakwah yang terus menerus untuk mendampingi masyarakat. Sebab jika proyek ini berjalan, akan terjadi “Shock Culture”, masuknya gaya hidup perkotaan mengalihkan kultur pesantren dan warna kota wali. Liberalisasi di segala sektor juga akan berimbas ke para ibu. Pengarustamaan pemberdayaan perempuan, bukan tidak mungkin akan terangkat ke permukaan.

Berharap sejahtera dari sistem kapitalis, bagai menjaring angin. Sebab sistem ini tidak berpihak pada kesejahteraan masyarakat. Inilah yang menjadi alasan muncul berbagai persoalan, sebab masyarakat dijejali dengan solusi buatan manusia, bukan solusi yang datang dari Allah al Mudabbir. Saatnya kembali ke Islam sebagai solusi hakiki bagi khoiru ummah. Wallahu ‘alam.

Lulu Nugroho
Muslimah Revowriter Cirebon

Artikel Terkait

Back to top button