OPINI

Di Tengah Pandemi dan Kemunduran Demokrasi, Tantangan Pers Kian Berat

Hari ini, 9 Februari, kita memperingati Hari Pers Nasional dengan banyak sekali keprihatinan. Di tengah-tengah pandemi dan kemunduran demokrasi, pers setidaknya tengah menghadapi tiga tantangan berat sekaligus.

Pertama, adalah tantangan industrial bisnis pers. Pandemi Covid-19 telah mempercepat proses transformasi digital di hampir semua lini kehidupan, mulai dari pendidikan, pekerjaan, interaksi sosial, retail, dan tentu saja termasuk industri pers. Sejak sebelum adanya pandemi saja, dalam sepuluh tahun terakhir kita sudah menyaksikan media-media cetak besar berhenti terbit. Sebagian besar berhenti terbit karena gagal menyesuaikan diri dengan era digital, sementara sebagian kecil lainnya berhenti terbit karena mencoba beralih platform.

Sesudah terjadi pandemi, perubahan itu bukan hanya telah menghantam media-media cetak saja, tapi juga menghantam dengan keras media-media elektronik. Dalam setahun terakhir, misalnya, kita menyaksikan industri televisi kelimpungan dalam menghadapi platform media sosial, terutama Youtube. Di tengah-tengah kebiasaan baru work from home (WFH), serta school from home, time screen orang dengan media sosial jauh lebih tinggi daripada dengan layar televisi. Ini bukan hanya berlaku di kota-kota besar, tetapi juga hingga ke pelosok-pelosok desa.

Semua itu tentu saja telah memberi pukulan serius pada industri media, mempengaruhi wajah pers kita, dan berimbas pada para pekerja pers.

Kedua, kemunduran demokrasi. Merujuk pada Laporan Indeks Demokrasi 2020 yang disusun oleh The Economist Intelligence Unit (EIU), pandemi Covid-19 telah menurunkan indeks demokrasi di seluruh dunia. Rata-rata skor indeks demokrasi dunia tahun ini tercatat 5,37, menurun dari rerata tahun sebelumnya yang ada di angka 5,44. Angka 5,37 ini juga tercatat sebagai rata-rata skor terendah sejak EIU pertama kali merilis Indeks Demokrasi pada 2006 silam.

Mundurnya kehidupan demokrasi, seperti pengekangan, kontrol terhadap kebebasan, pemblokiran arus informasi, atau tidak adanya transparansi, tentunya akan berimbas pada kerja pers.

Dan ketiga, ancaman tradisional kebebasan pers. Sejak sebelum adanya pandemi saja, ancaman terhadap kebebasan pers masih menghadapi persoalan serius, apalagi di tengah-tengah kemunduran demokrasi sekarang ini. Dalam World Press Freedom Index 2020, misalnya, yang disusun Reporters Without Borders, Indonesia saat ini berada pada ranking 119 dari 180 negara. Posisi ini memang sedikit meningkat dibandingkan tahun lalu. Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara demokrasi besar lainnya, posisi kebebasan pers Indonesia tidak berbeda jauh dengan posisi negara-negara non-demokrasi. Posisi Indonesia bahkan berada jauh di bawah Timor Leste yang berada di peringkat 73.

Salah satu penyumbang rendahnya peringkat kebebasan pers di Indonesia adalah masih tingginya angka kekerasan terhadap jurnalis. Mulai dari ancaman kekerasan regulasi pers yang tidak bersahabat, kekerasan aparat, hingga kekerasan kesejahteraan masih dialami oleh insan pers. Ancaman-ancaman tersebut kian memburuk di tengah pandemi covid-19, akibat adanya tekanan yang dialami insan pers dalam pemberitaan covid-19.

Dalam catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), periode 2019-2020 setidaknya ada 53 kasus kekerasan yang dialami pers. Jenis kekerasan terbanyak berupa kekerasan fisik 18 kasus, perusakan alat atau data hasil liputan 14, dan ancaman kekerasan atau teror 8. Jumlah ini meningkat dibandingkan kasus kekerasan pada periode yang sama tahun lalu sebanyak 42 kasus.

Gambaran yang sama juga tercermin dalam Indeks Kemerdekaan Pers yang dikeluarkan oleh Dewan Pers. Meski skor IKP 2020 mengalami peningkatan tipis, dari 73,71 di 2019 menjadi 75,27 di 2020, namun sejumlah persoalan yang menghambat pelaksanaan kemerdekaan pers di Indonesia masih terjadi. Seperti adanya tekanan pemilik perusahaan pada kebijakan redaksi, penentuan arah politik media; intervensi pemerintah terhadap isi pemberitaan; kekerasan terhadap wartawan; dan kurangnya kesejahteraan wartawan.

Tiga hal tadi telah mempengaruhi ekosistem kebebasan pers dan kualitas produk jurnalistik di negeri kita. Saat ini, misalnya, banyak media lebih terlihat sebagai papan advertensi pemerintah daripada sebagai anjing penjaga (watchdog) demokrasi. Tulisan-tulisan wartawan banyak yang hanya mengutip pernyataan-pernyataan resmi pejabat, daripada menelusuri langsung fakta-fakta lapangan dari sebuah peristiwa. Padahal, jika pers bisa menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol bagi kekuasaan, mungkin kehidupan demokrasi kita bisa jadi lebih sehat.

Saya kira, anjloknya Indeks Demokrasi kita, serta turunnya Indeks Persepsi Korupsi dalam setahun terakhir, mestinya merupakan panggilan bagi pers nasional agar lebih tajam dan kritis lagi.

Di hari Pers Nasional ini, meskipun kondisinya masih penuh tantangan, saya mendorong agar Pers Indonesia dapat menjadi oase yang mengawal demokrasi dengan profesional dan independen. Di masa-masa sulit seperti sekarang ini, fungsi pers sebagai katalis penjernih menjadi semakin diperlukan. Produk jurnalistik pers diharapkan tidak hanya menyediakan informasi, tetapi juga mampu menggambarkan duduk perkaranya (insight) serta memberi gambaran untuk langkah ke depan (foresight).

Dirgahayu Pers Indonesia!

Dr. Fadli Zon
Anggota DPR RI; Wakil Ketua Dewan Pembina dan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra

Artikel Terkait

Back to top button