Di Tengah Transisi Demokrasi, Kemanakah Bjorka?
Sedangkan, penghuni negara demokrasi republik netizen Indonesia di dunia maya, setidaknya melalui yang sudah memiliki perangkat HP datanya sebanyak 68,3% atau sekitar 194,1 juta dari populasi tersebar di pelbagai penggunaan aplikasi media sosial, seperti: WA 88,7%, instagram 84,8%, facebook 81,3%, Tiktok 63,1% dan Telegram 62,8%.
Jika saja secara paralel menuju 2024 dari sekarang angka kenaikan populasi peserta Pilpres 2024 5%, sementara populasi pengguna hp naik 12,35%, maka angkanya akan match bertemu di mana probabilitasnya akan terjadi suatu kondisi “one hp to one vote getter”.
Sekaligus, jika sudah begini bagi para parpol dan kandidat bakal calon Presiden faktualisasi fakta data ini akan menentukan pula untuk mempertimbangkan pilihan bagaimana nanti cara ajang kampanye dilaksanakan. Tentu saja prospektifnya jauh lebih baik, layak, laik dan strategis, serta sangat efisien dan efektif melalui fora komunikasi digital media sosial. Makanya, media sosial bakal menjadi arus sentral episentrum baru memfasilitasi interaksi komunikasi kampanye digital terbesar di Pilpres 2024 nanti.
Jadi, biarlah jagat di cakrawala atmosfir langit Indonesia akan ramai melintas kampanye politik baik antarparpol maupun kandidat Presiden. Sudah bisa dibayangkan dan diprediksi nanti akan begitu tingginya tingkat emosional, hujatan, bahkan sampai ujaran kebencian dan hoax itu terjadi. Asal jangan sampai menjadi sarana media jatuhnya para kompanion kampanye dari langit maya untuk ketemu di darat (off line) yang sudah pasti berakibat “beradu beneran” akan rawan mengundang kerusuhan dan anarki.
Sesungguhnya tujuan akhir kampanye dengan cara komunikasi digital, adalah hanya secara elektrikal dan digital bagaimana melakukan ikhtiar maksimal hingga meraih pencapaian bersama terbentuknya persepsi publik secara bersama pula.
Sepanjang apa yang disampaikan oleh sang calon Presiden itu suatu hal kebenaran dan kebaikan —ketimbang pidato narasi hujatan, fitnah, ujaran kebencian dan atau hoax yang jelas menabrak dan melanggar hukum, keluarannya akan memenangkan perang persepsi publik untuk menentukan akhirnya siapa Presiden terpilih itu, sesengit apa pun terjadinya pertaruhan dan pertarungan yang mewarnai dan menandainya: tetapi akan tetap aman, itu tanpa pertarungan fisik, apalagi pertumpahan darah dan atau menimbulkan korban meninggal sia-sia di pesta demokrasi ini.
Tetapi belakangan berselang hampir sebulan terakhir, memang premisnya selalu secara tiba-tiba pula ntahlah Bjorka kemana? Seolah seperti menghilang pergi tak meninggalkan jejak. Tetapi seperti itulah perilakunya suatu peragaan digital peretas.
Dengan tanpa perasaan agitatif dan berprasangka buruk terhadap Bjorka, tetapi bagi kita kemunculannya yang boleh dibilang sesaat aksi dan laganya di dunia maya di negeri demokrasi republik netizen Indonesia telah meninggalkan kesan dan pesan yang mendalam dikarenakan Bjorka “sedikit apapun” pesan dan pernyataan fatwanya sempat turut melakukan pembelaan kepada rakyat terhadap rezim penguasa yang zalim itu.
Boleh jadi Bjorka alias Robin Hood sang peretas pencuri data itu tengah kembali “bersembunyi” memasuki hutan larangan di Nothingham dan siapa tahu akan datang secara mendadak pula kembali tanpa dinyana dan tanpa mampu dilacak, bersamaan dengan datangnya saat pelaksanaan pemungutan suara Pilpres 2024 itu tiba. Semoga!! Wallahua’lam Bishawab
Mustikasari-Bekasi, 9 Oktober 2022
Dairy Sudarman, Pemerhati politik dan kebangsaan.