Diamnya Arab Bukan Alasan Kita Mati Rasa: Palestina, Ukhuwah dan Ujian Iman Kita

“Ngapain repot-repot mikirin Palestina? Negara-negara Arab tetangganya saja tidak peduli.” Kalimat ini makin sering terdengar, bahkan dari mulut seorang Muslim. Sepintas terdengar logis, tetapi jika direnungkan lebih dalam, pernyataan itu mengandung kerancuan berpikir, dan bahkan bisa menjadi tanda melemahnya iman, pudarnya empati, dan dangkalnya pemahaman tentang ukhuwah Islamiyah.
1. Umat Islam Itu Satu Tubuh, Bukan Sekumpulan Ego
Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan kaum Mukminin dalam kasih sayang, cinta, dan empati mereka itu seperti satu tubuh. Jika satu bagian tubuh sakit, seluruh tubuh ikut merasakan panas dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Palestina, sejauh apa pun lokasinya, tetap bagian dari tubuh kita. Jika kita merasa “tidak ada urusan” dengan mereka, maka kita sedang melepaskan diri dari tubuh itu. Kita sedang menandai lemahnya ukhuwwah—dan ini tanda lemahnya iman.
2. Logika Keliru: Kalau Banyak yang Salah, Apakah Salah Itu Jadi Benar?
Mengatakan “negara-negara Arab saja diam” lalu menjadikan itu alasan untuk ikut diam, adalah pembenaran yang keliru. Kesalahan berjamaah tetaplah kesalahan. Diamnya mereka bukan justifikasi untuk ketidakpedulian kita. Kalau para tetangga membiarkan rumah saudara kita dibakar, apakah kita juga akan berdalih, “Ah, biarkan saja… mereka juga diam kok”?
Sejak kapan kebenaran ditentukan oleh banyaknya orang yang peduli? Islam tidak menilai mayoritas, Islam menilai kebenaran. Kita tidak diperintahkan mengikuti yang banyak, tapi mengikuti yang lurus.
3. Bukan Soal Politik, Ini Soal Nurani
Benar, negara-negara Arab bisa jadi terikat oleh kepentingan politik, ekonomi, atau tekanan kekuasaan. Tapi kita sebagai individu beriman tidak memiliki alasan untuk mematikan nurani. Bahkan Nabi Muhammad SAW mengingatkan dengan tegas “Siapa yang tidak peduli urusan kaum Muslimin, maka ia bukan bagian dari mereka.” (HR. Thabrani, sanad hasan)
Kita mungkin tidak bisa mengirim bantuan besar. Tapi kita bisa berdiri bersama mereka dalam doa, dalam narasi, dalam pendidikan anak-anak kita, dalam pilihan konsumsi kita, dalam solidaritas kecil yang berarti besar di sisi Allah.
4. Kalau Mereka Diam, Apakah Kita Juga Harus Mati Rasa?
Justru diamnya mereka adalah tamparan bagi kita semua. Tamparan yang menyadarkan kita bahwa umat ini sedang sakit parah. Dan kalau semua ikut diam, berarti kita ikut mati bersama nurani yang membusuk.
Kita bukan negara, kita tidak punya senjata. Tapi kita masih punya iman, hati, dan suara. Dan itu cukup sebagai bukti bahwa kita masih bagian dari umat ini. Besok di hadapan Allah, kita akan ditanya: “Apa yang kamu lakukan ketika saudaramu dizalimi?”
Jangan pernah menjadikan diamnya negara Arab sebagai pembenaran untuk ikut tidak peduli. Justru di tengah banyak yang bungkam, kepedulian kita menjadi cahaya.
Kalau kita tidak bisa berdiri di barisan depan, jangan juga memilih tempat di barisan orang yang acuh. Karena hari ini mungkin giliran mereka. Besok bisa jadi giliran kita. Dan saat itu datang, kita akan tahu betapa mahalnya satu suara yang membela kebenaran.
Dr. Firmanullah Firdaus, S.E., M.Kom