Global March to Gaza: Menyambut Panggilan dari Tanah Gaza

Jika hati nurani sudah berbicara, tak perlu memikirkan konsekuensi, tak perlu memperhitungkan biaya dan akomodasi. Bahkan jika jiwa dan raga harus dikorbankan, semua mampu dilewati.
Begitulah semangat yang terekam jelas saat melihat bara di mata para peserta Global March to Gaza. Mereka datang dari 50 negara di dunia. Berkumpul di Kairo, berjalan kaki sejauh 50 km menuju gerbang Rafah. Tekad mereka hanya satu yakni misi kemanusiaan ke Gaza. Mereka ingin gerbang Rafah dibuka sehingga bisa menyalurkan bantuan yang sangat dibutuhkan warga Gaza serta memberikan tekanan publik untuk bisa menghentikan penyerangan terhadap warga Gaza.
Akan tetapi, niat baik ini tidak berjalan mulus. Selain rute yang dilalui tidak mudah, mereka pun harus melintasi wilayah militer Mesir. Ada yang pada akhirnya ditahan, dideportasi, dan tak diizinkan melanjutkan perjalanan (detik.com, 16/6/2025).
Perjuangan misi kemanusiaan
Bukan sekali masyarakat sipil datang memenuhi panggilan warga Gaza, Palestina. Berulang kali, dari tahun ke tahun, baik dari darat, udara dan laut para aktivis kemanusiaan mempertaruhkan segalanya untuk bisa mencapai Palestina. Di tahun 2007 kapal yang membawa bantuan dicegat dan diserang Zionis Yahudi. Begitu pula di tahun 2010, kisah tragis menimpa awak kapal Mavi Marmara. Sembilan orang tewas di tempat, sementara satu lagi meninggal akibat luka. Pada 1 Juni lalu, kapal Marleen dari Freedom Flotilla Coalition kembali mengarungi lautan mencoba menembus pertahanan Zionis, namun dicegat pada 9 Juni dan kemudian ditangkap (detik.com, 16/6/2025).
Sementara kondisi warga Gaza saat ini sangat memprihatinkan. Kelaparan ekstrem tengah terjadi karena blokade yang dilakukan Zionis Yahudi. Setelah penyerangan yang tidak henti, warga yang masih selamat berpindah-pindah tempat hingga akhirnya berada di Rafah. Kota yang berbatasan langsung dengan Mesir. Lebih dari 55.000 orang telah tewas dan lebih dari 126.000 terluka. Mereka yang meninggal bukanlah orang-orang yang bersenjata, namun warga sipil, anak-anak, perempuan, orang lanjut usia, para tenaga medis, dan jurnalis. Sungguh Zionis Yahudi memang telah melakukan genosida di tanah Palestina. Lantas kemana para pemimpin muslim di dunia, setelah kondisi ini berlangsung lama?
Penguasa Muslim tak Punya Hati
Ribuan aktivis yang tergabung dalam Global March to Gaza bukan orang Islam saja, ada pula di antara mereka yang merupakan nonmuslim. Mereka berharap aksi damai ini dapat menggugah dunia untuk melakukan tindakan nyata. Keikutsertaan mereka pun didorong oleh rasa kemanusiaan dan kebenaran. Di mana harus ada langkah untuk menghentikan penyerangan dan upaya genosida di Palestina, khususnya Gaza.
Demikianlah mereka memperlihatkan keberaniannya yang tulus untuk memberikan bantuan pada warga Gaza. Tanpa takut tindakan-tindakan militer yang akan hadapi di tengah perjalanan, mereka bergerak bersama dalam satu tujuan. Lantas di mana para penguasa muslim? Mereka yang mempunyai kekuatan militer tentara, tank baja, persenjataan kuat nan canggih, kapal-kapal perang, prajurit-prajurit yang terlatih. Mereka malah sibuk dengan kalkulasi kerugian.
Tengok Mesir, pemimpinnya sejak lama telah membatasi pintu perbatasan Rafah-Mesir, karena ketakutan akan ancaman serangan dari Zionis Yahudi. Dia terlalu takut serangan udara Zionis Yahudi akan merusak sarana mereka. Padahal tanah Palestina, tanah saudaranya telah nyata-nyata rata dengan tanah, tidak ada sarana prasarana yang tersisa. Jika dianalogikan, begitukah akhlak seseorang terhadap saudaranya sendiri yang dalam kondisi kritis?
Begitu pula dengan pemimpin Arab lainnya, yang melakukan perjanjian damai dengan Zionis, saat tangan drone-drone mereka menghancurkan segala fasilitas di tanah Palestina. Entah mereka masih punya hati untuk merasa malu atas tindakannya. Padahal seorang yang berbeda akidah saja merasakan sakit yang sama dengan warga Gaza.
Kaum Muslim Harus Bersatu
Hadits Rasulullah saw berabad-abad silam kini telah tampak dengan nyata. Beliau bersabda bahwa suatu hari umatnya banyak namun seperti buih di lautan. Mereka banyak, namun tidak punya kekuatan. Begitulah kondisinya saat ini.
Jumlah kaum muslim di dunia sekitar dua miliar, kaum mayoritas di dunia ini. Tetapi, jumlah banyak tersebut terinjak-injak oleh jumlah minoritas. Kaum muslim tidak mempunyai wibawa, tidak pula kekuatan, bahkan keberanian. Semua tercermin dengan lemahnya kaum muslim dalam menghadapi Zionis Yahudi yang jumlahnya sedikit.
Lemahnya kaum muslim karena tidak adanya persatuan di bawah satu kepemimpinan Islam. Hari ini kaum muslim tersekat-sekat dalam wilayah kecil bernama negara. Inilah yang membuat masing-masing pemimpin di negeri-negeri Islam sibuk dengan persoalan negaranya sendiri.