Diskusi Ilmiah Dipersekusi, Apa Kabar Demokrasi?
Diskusi ilmiah yang akan diselenggarakan secara online bertema “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” oleh mahasiswa UGM menjadi kontroversi bahkan berbuntut persekusi.
Kontroversi bermula dari pendapat yang menyatakan bahwa kegiatan tersebut makar. Berlanjut menjadi teror yang terjadi pada panitia maupun Prof. Dr. Ni’matul Huda, SH M. Hum dari Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai narasumber. Teror tersebut dilakukan secara langsung maupun ancaman di dunia maya untuk diri dan keluarga mereka.
Panitia penyelenggara akhirnya mengklarifikasi dan meminta maaf. Selanjutnya terpaksa mengganti tema menjadi “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan.” Namun pada akhirnya, acara yang seharusnya dilaksanakan secara daring pada tanggal 29/5/2020 pukul 02.00-04.00 WIB itu terpaksa dibatalkan demi alasan keamanan.
Cukup menggelitik, bukankah demokrasi memberikan ruang kebebasan berpendapat? Bahkan hal tersebut merupakan hak yang dilindungi dalam UUD 1945 Pasal 28 Ayat 3. Maka wajar jika muncul kecaman balik terhadap tindakan teror tersebut. Sebagaimana lahir pernyataan sikap Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN), Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, Serikat Pengajar HAM, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik, dan Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum Indonesia. Mereka menyatakan “Mengutuk Keras Tindakan Teror Terhadap Insan Akademik & Penyelenggaraan Diskusi Di Jogyakarta”.
Kajian ilmiah berkenan dengan Presiden seharusnya bukanlah hal yang tabu bagi demokrasi. Terlebih saat ini kondisi masyarakat sangat jelas bukan menjadi prioritas utama di tengah pandemi. Bahkan, bisa dikatakan negara telah gagal mencegah penyebaran virus ini di tengah umat. Hingga mereka dipaksa oleh para kapital untuk menerapkan “new normal” sebelum kerugian pengusaha kelas kakap semakin besar.
Kenaikan iuran BPJS di kala pandemi juga semakin menunjukkan betapa rezim ini gak punya hati. Dikala rakyat banyak yang dirumahkan, tenaga asing China justru didatangkan. Harga BBM yang seharusnya turun juga tak diputuskan padahal rakyat sedang mengalami kesulitan. Sangat ketara adanya perselingkuhan pemerintah dengan pengusaha. Penguasa rasa pengusaha yang lebih memikirkan untung rugi dibandingkan nyawa dan kesejahteraan rakyatnya.
Jika ada kajian akademik berkenaan dengan pemecatan presiden, apakah hal ini salah? Bukannya konstitusi juga mengatur berkenaan dengan persoalan pemacatan presiden? Dan hal tersebut adalah bagian dari sistem ketatanegaraan Indonesia. Sejarah juga mencatat pernah ada berkenaan dengan pemecatan presiden. Konstitusi bukannya juga melindungi rakyat untuk berbicara tentang hal tersebut? Terlebih hal tersebut adalah kajian ilmiah dan akademisi. Sebab, jika memang Presiden nyata-nyata melakukan penghianatan kepada negara, serta melakukan kejahatan berat dan perbuatan tercela, maka Presiden bisa untuk dipecat.
Lebih awal dari itu, kritik dan saran dari rakyat haruslah didengar. Bukankah slogan demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat?”. Namun nyatanya, hal itu hanyalah slogan yang tak pernah dihiraukan. Bahkan, memang rezim sekarang sejak lama memasang badan dengan pemberlakuan UU ITE. Dari sini semakin nampak bahwa demokrasi yang sejatinya dibangun atas kebebasan ternyata telah dinodai.
Kebebasan bersuara yang harusnya diberikan ruang karena bagian dari hak asasi manusia nampaknya semakin kritis, bahkan hampir mati. Dicekik oleh pengusungnya sendiri. Kebebasan bersuara telah disandera oleh kepentingan mereka yang memegang kendali. Lebih ironis, faktanya selama ini ancaman untuk bersuara hanya ditujukan bagi mereka yang oposisi. Maka, tidak selayaknya kita masih mempertahankan demokrasi yang hipokrisi ini.
Bertolak belakang dengan Islam yang justru mendorong aktifitas muhasabah dan meng-kriritik kepada penguasa. Sebagaimana sabda Rasulullah saw secara khusus telah memuji aktivitas mengoreksi penguasa zalim, untuk mengoreksi kesalahannya dan menyampaikan kebenaran kepadanya. Sebagaimana sabda Beliau, “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya).
Di satu sisi, sungguh ditekankan bahwa penguasa dalam Islam adalah pelayan rakyat dan perisai umat. Sangat dholim penguasa yang tidak mengutamakan kepentingan rakyatnya. Terlebih mereka yang mengabaikan aturan Allah SWT, Sang penguasa alam raya. Semoga Allah SWT segera mengangkat segala kedhaliman yang terjadi di negeri ini dan menggantinya dengan keadilan hakiki. Keadilan yang berasal dari Allah Ilahi Rabbi. Wallahu A’lam bisa shawab.
Ifa Mufida
(Pemerhati Kebijakan Publik)