OPINI

Wajah Buruk Demokrasi

Ramadhan penuh duka. Kalimat yang tepat mewakili kondisi Ramadhan tahun ini. Tragedi 22 Mei 2019 menambah daftar panjang tragedi berdarah dalam sejarah. Dan menambah luka baru dalam cerita pilu pasca Pemilu. Padahal Ibu Pertiwi masih menyimpan kecewa sebab kecurangan anak kandungnya yang khianati rakyat. Bahkan air matanya juga belum kering, sebab duka atas tewasnya 700 petugas KPPS.

Kini, luka semakin perih terasa. Demi tegaknya keadilan di atas Ibu Pertiwi. Ratusan anak bangsa menjadi korban brutal dan ganasnya Tragedi 22 Mei 2019. Sementara 8 orang kehilangan nyawa tanpa alasan pasti. Sedihnya mereka juga kehilangan nyawa dengan cara yang tragis. Ya, sehari setelah tragedi berdarah 22 Mei 2019 terjadi, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut jumlah korban Aksi 22 Mei bertambah menjadi 8 orang. Sementara korban luka-luka bertambah menjadi 730 orang. (cnnindonesia.com, 23/5/2019).

Nama Harun dan Rayhan pun menjadi viral di linimasa. Benih muda generasi bangsa telah menjadi saksi pilu, ganasnya tragedi 22 Mei 2019. Dua nyawa muda yang tak berdosa hilang akibat tembakan dan ulah brutal aparat. Keduanya merupakan dua dari delapan korban tewas dalam tragedi 22 Mei 2019. Padahal keduanya hanyalah remaja tak bersalah yang ingin menyaksikan kebrutalan aksi aparat. Sedihnya, malah berujung pada hilangnya nyawa.

Kebrutalan aparat yang tak pandang bulu, tak hanya menyasar nyawa warga sipil dan anak di bawah umur. Tim medis pun tak luput dari sasaran. Sebagaimana diberitakan republika.co.id, 23/5/2019, lembaga kemanusiaan Dompet Dhuafa menjadi korban penyerangan saat hendak memberikan pelayanan medis di lokasi aksi massa, Rabu (22/5), di Jakarta. Menurut kutipan yang dirilis Dompet Dhuafa, satu mobil tim medis Dompet Dhuafa ringsek. Sementara dua orang dari tim medis Dompet Dhuafa mengalami luka-luka yang cukup serius di bagian kepala. Akibat penyerangan dan pemukulan yang dilakukan oleh oknum aparat.

Dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan oknum aparat pun berujung pada pelaporan. Dikabarkan viva.co.id, 25/5/2019, Kelompok Relawan Kemanusiaan Medical Emergency Rescue Committee atau MER-C, berencana melaporkan aparat Kepolisan Indonesia ke Mahkamah Internasional. Hal tersebut terkait adanya dugaan kekerasan oknum aparat terhadap warga sipil, tim medis dan anak di bawah umur pada tragedi 21-23 Mei 2019.

Menurut relawan medis MER-C, Joserizal Jurnalis, MER-C saat ini sedang mengumpulkan sejumlah bukti. Ia juga mengatakan tindakan yang dilakukan oleh aparat tersebut, bertentangan dengan Konvensi Jenewa. Sebab berdasarkan Konvensi Jenewa, apabila kondisi berat seperti perang saja, relawan medis, sipil, dan wanita itu dilindungi. Apatah lagi, hanya aksi demonstrasi yang tak seberat peperangan.

Sungguh tragedi berdarah 22 Mei 2019 tak hanya menggoreskan luka perih. Tapi juga menambah pelik masalah pasca pesta demokrasi. Di satu sisi menjadi gambaran betapa murahnya nyawa dikorbankan dalam demokrasi.

Benarlah apa yang disampaikan Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Fadli Zon, ketika menjadi narasumber CNN Indonesia pada Jumat, 24/5/2019. Ia menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia sedang mengalami tragedi demokrasi. Di mana hari ini nyawa di Indonesia sepertinya murah dan sambil lalu saja. Menjadi bahasan, namun tidak ada pertanggungjawaban.

Ya, tidak ada pertanggungjawaban. Itulah fakta pasca tragedi berdarah 22 Mei 2019. Bukan kejelasan dan pencerahan yang diperoleh rakyat. Sebaliknya drama penculikan, sinetron Andri Bibir, penangkapan tokoh dan teror yang dimainkan para petinggi negeri.

Herannya ucapan bela sungkawa dari penguasa pun tak terdengar. Seolah mulut kelu sebab dihadang para penyuara keadilan. Alih-alih ikut merasakan duka keluarga 8 korban tewas dalam tragedi tersebut. Penguasa malah menyibukan diri dengan mengundang dua pedagang, korban penjarahan gas.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button