Dispensasi Nikah Bukan Solusi Hakiki
Sempat viral di media, ratusan siswa berseragam abu-abu dan biru mengajukan dispensasi nikah di Ponorogo, Jawa Timur. Fenomena pernikahan dini ini tampak pada pengajuan izin dispensasi kawin di Pengadilan Agama (PA) Ponorogo sepanjang tahun 2020, yaitu 236 perkara. Angka tersebut naik dua kali lipat dibanding tahun 2019 yang hanya 93 perkara.
Sejak berita tersebut diturunkan, Pemerintah Daerah (Pemda) Ponorogo segera melakukan validasi data dan mapping. Pemda pun mendeteksi pergaulan bebas berikut faktor-faktor yang memengaruhinya, untuk menentukan langkah-langkah pencegahan pernikahan dini tersebut.
Ponorogo bukan satu-satunya. Berdasarkan rekap data dispensasi kawin 2022 di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, Kabupaten Ponorogo menempati urutan ke-28 di Jatim, dibanding Trenggalek, Malang, Jember, dan Bojonegoro. Urutan pertama diduduki Kabupaten Malang dengan permohonan dispensasi nikah mencapai 1.455 perkara. (Beritajatim.com, 17/1/2023)
Tidak hanya Jawa Timur, hal serupa ternyata terjadi juga di Bandung. Sebanyak 143 permohonan dispensasi nikah (Diska) warga Kota Bandung yang dikabulkan Pengadilan Agama (PA) Bandung di tahun 2022. Alasannya pun mirip, mayoritas pengajuan Diska karena hamil di luar nikah. Maka patut waspada adanya fenomena gunung es, sebab kasus yang terjadi di tengah masyarakat bisa jadi jauh lebih tinggi daripada yang tercatat.
Perubahan aturan yang berlaku digadang-gadang menjadi faktor pemicu penambahan perkara. Undang-undang No.16 tahun 2019 yang mengatur tentang batas usia perkawinan, yang sebelumnya batas minimal nikah bagi laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun, pada Undang-Undang No.1 Tahun 1974, berubah menjadi 19 tahun bagi laki-laki maupun perempuan.
Alasannya adalah bahwa pemerintah mempertimbangkan kesiapan fisik dan mental bagi calon mempelai, untuk menekan laju kelahiran dan menurunkan resiko kematian ibu dan anak. Selain itu juga untuk optimalisasi pemenuhan hak-hak anak ke depannya dengan pendampingan orang tua serta memberikan akses anak pada pendidikan setinggi mungkin.
Bias Aturan
Dispensasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pengecualian dari aturan karena adanya pertimbangan yang khusus; pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan.
Alih-alih menyelesaikan masalah, aturan yang ada malah menjadi bias di tengah masyarakat. Di satu sisi seolah memberi kesempatan pada mempelai untuk mempersiapkan pernikahannya dengan kesiapan lahir dan batin, di sisi lain terjadi serangan pemikiran yang masif merusak generasi. Pornografi dan pornoaksi dengan mudahnya masuk melalui gawai. Di bawah kendali sekularisme, era digitalisasi selalu memakan korban.
Dari sini terbuka pintu stimulus pembangkit syahwat. Maka imbasnya, pergaulan bebas semakin marak dan menjadi hal yang lumrah di kalangan muda. Hedonisme pun menjadi gaya hidup kekinian yang terus merangsek kehidupan remaja muslim. Apapun dilakukan, demi tampil mewah mengikuti kekinian. Pada akhirnya sedikit demi sedikit mereka terjerumus pada nilai-nilai yang jauh dari Islam.
Inilah buah dari penerapan sekularisme. Menegasikan peran Allah dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan manusia membuat aturannya sendiri-sendiri. Hingga lahirlah beragam aturan yang tumpang tindih antara satu dengan lainnya, bahkan bisa jadi bertentangan dengan fitrah manusia. Dispensasi bukan solusi. Memberi dispensasi namun tetap membiarkan tayangan porno, hanya akan melegalisasi kemaksiatan.