Empati
Berbeda dengan Islam yang menjadikan penguasa sebagai junnah atau perisai dan raa’in atau pengurus. Sebagaimana pernah terjadi di Madinah pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab, bencana kelaparan selama sembilan bulan. Para ulama menyebutnya sebagai ‘am ramadha atau tahun kekeringan.
Setelah ‘Am Ramadha, terjadi wabah ‘Taūn Amwās di wilayah Syam. Ribuan orang wafat termasuk beberapa sahabat Khalifah Umar bin Khaththab yakni Abu Ubaidah, Muadz bin Jabal, dan Suhail bin Amr. Maka Umar bin Khaththab mengeluarkan solusi jitu dengan sejumlah kebijakan:
1) penguasa dan warga, bersama melakukan taqarrub ilallah dengan cara memohon ampun dan memperbaiki diri di hadapan Allah.
2) mengirim kebutuhan pokok bagi masyarakat.
3) mengimbau masyarakat agar hemat mengonsumsi makanan yang ada.
4) menangguhkan pemungutan zakat peternakan.
Sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, Umar menyampaikan, “Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dalam diri kalian, dan dalam urusan kalian yang tidak terlihat oleh manusia. Karena sesungguhnya aku diuji dengan kalian dan kalian diuji denganku. Aku tidak tahu apakah kemurkaan itu ditujukan kepada diriku dan bukan kepada kalian atau kemurkaan itu ditujukan kepada kalian dan bukan kepada diriku atau kemurkaan itu berlaku umum kepadaku dan juga kepada kalian. Karenanya, marilah marilah kita senantiasa berdoa kepada Allah agar Dia memperbaiki hati-hati kita, merahmati kita, dan mengangkat bencana ini dari kita.”
Sedangkan kebijakan ekonomi yang dilakukan Umar bin Khaththab adalah dengan meminta bantuan melalui surat kepada para gubernur yang ada di beberapa wilayah seperti Abu Musa di Basrah, ’Amru bin Ash di Mesir, Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Syam dan Sa’ad bin Waqs di Iraq, untuk mengirimkan kebutuhan pokok ke Madinah. Kepekaan dan kasih sayang yang ditunjukkan warga dan penguasa di wilayah lain, menunjukkan tingginya kemuliaan Islam.
Umar juga melarang warganya menyajikan minyak samin dan daging dalam satu hidangan. Pemimpin sekaliber Umar bin Khaththab hanya menyantap minyak zaitun selama masa sulit. Empati yang luar biasa ditunjukkan Umar dengan memosisikan hatinya sejajar dengan penderitaan rakyat.
Pemungutan zakat baru dilakukan di tahun setelahnya dengan mengambil dua bagian zakat, dari pemilik hewan. Separuhnya diberikan kepada orang-orang miskin dan sisanya dibawa kepada Umar untuk dibagikan.
Inilah sebaik-baik pemimpin yang pernah ada di masa kejayaan Islam. Negara menjadi sebuah institusi yang menerapkan aturan Allah. Para penguasanya memiliki ketakwaan yang tinggi, sehingga takut berbuat aniaya dan lalai terhadap rakyatnya. Mereka sadar bahwa kelak harus mempertanggungjawabkan kepemimpinan mereka di hadapan Allah.
Melihat potret Umar, menjadikan sekularisme tidak layak bersanding dengan Islam. Maka tak heran, ketika Islam diterapkan, mampu menghadirkan rahmat bagi semesta alam. Allahumma ahyanaa bil Islam. []
Lulu Nugroho, Muslimah Pengemban Dakwah dari Bandung.