SUARA PEMBACA

Empati

Gelaran acara bertajuk “Nusantara Bersatu” diselenggarakan gabungan Relawan Jokowi, di Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, pada Sabtu (26/11) lalu.

Di sana presiden menyampaikan sejumlah pencapaiannya terutama di bidang infrastruktur, selama masa pemerintahannya. Pun terselip sosok dan kriteria Calon Presiden 2024.

Acara tersebut dihadiri berbagai kalangan. Rombongan warga memadati area GBK. Sebagian orang tahu betul agenda acara pada hari itu, tapi sebagian lainnya tidak mengerti. Mereka hanya ikut-ikutan datang, sebab sudah tersedia kendaraan yang akan mengangkut mereka menuju Jakarta.

Alhasil mereka kecewa sebab berharap menjumpai Habib Luthfi bin Yahya, Kiai Nahdlatul Ulama, sebagaimana yang dijanjikan. Sebagian lain kecewa sebab tidak ada agenda sholawat kubro. (Tempo.co, 26/11/2022)

Bahkan menjadi viral di media sosial adanya 31 ton lautan sampah usai acara tersebut. Tak tanggung-tanggung, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengerahkan 500 personel pasukan oranye untuk membersihkannya. (Cnnindonesia.com, 27/11/2022)

Sungguh ironis melihat fakta yang terjadi. Sementara warga Cianjur, Jawa Barat, masih berjibaku berusaha melanjutkan kehidupan mereka setelah terjadinya bencana. Mitigasi bencana ala kadarnya tentu tidak menuntaskan seluruh persoalan. Pada akhirnya warga sendiri yang harus menanggung beban kesulitan mereka.

Ratusan infrastruktur dan fasilitas publik rusak, terdampak gempa magnitudo 5,6. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sebanyak 526 infastruktur rusak, yakni 363 bangunan sekolah, 144 tempat ibadah, 16 gedung perkantoran, dan tiga fasilitas kesehatan. Sedangkan jumlah rumah warga yang rusak sebanyak 56.320 unit.

Mereka membutuhkan keseriusan dari Pemerintah Pusat maupun Daerah untuk ke luar dari persoalan mereka. Sedangkan aroma jelang pesta demokrasi 2024 sudah mulai terasa.

Maka tak heran berbagai jalan ditempuh demi mendulang suara rakyat, meskipun menghabiskan dana yang tidak sedikit. Padahal uang tersebut akan mendatangkan kemaslahatan jika dialokasikan untuk perbaikan warga Cianjur.

Namun lagi-lagi sekularisme abai terhadap nasib sesama. Memisahkan agama dari kehidupan menjadi urat nadi sekularisme. Hasilnya adalah kepemimpinan yang miskin empati.

Ketundukan mereka kepada para kapital, menjadikan mereka tidak mampu merasakan kepedihan warga. Maka terbentanglah jarak yang luas antara pemimpin dengan rakyatnya.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button