Fahri Usulkan MPR Jadi Lembaga Adhoc, Apa Alasannya?
“Saya mengajukan tujuh RUU kepada Ketua DPR pada waktu itu, untuk diserahkan kepada DPR baru. Di antaranya pemisahan DPR dan DPD, UU Pemisahan DPR dan DPD dan termasuk saya mengusulkan agar MPR itu tidak menjadi lembaga permanen,” katanya.
Namun, tujuh RUU tersebut oleh DPR Periode 2019-2024, termasuk usulan agar MPR tidak menjadi lembaga permanen tidak ditindaklanjuti hingga sekarang.
“Jadi kalau tugasnya hanya untuk melantik presiden dan wakil presiden dan bertugas untuk mengamandemen UUD 1945, MPR tidak perlu menjadi lembaga permanen, karena peristiwa itu bukan peristiwa yang terus terjadi,” ujarnya.
Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti mengkritisi kinerja pimpinan dan anggota MPR. Ia mengkritisi gaji ketua dan anggota MPR yang dibayarkan tiap bulan, padahal rapatnya hanya tiga kali setahun.
Pasalnya, MPR sejak awal didesain hanya menjadi lembaga yang terbentuk saat ada sesi bertemu antara DPR dan DPD.
“MPR itu hanya terbentuk saat DPR dan DPD menjalankan tugas konstitusionalnya, sehingga tak perlu ada sistem penggajian tiap bulan,” katanya.
Hal itu membuat beberapa putusan MPR jadi dipertanyakan legitimasinya, apalagi jumlah kehadiran anggota legislatif yang kerap tak memenuhi kuota.
“Produk kebijakan jadi dipertanyakan legitimasi politiknya, walaupun secara legal formal sudah diketok,” tuturnya.
Fahri Hamzah menambahkan, usulan reformasi politik dilakukan Partai Gelora mencakup reformasi sistem kepemiluan hingga sistem ketatanegaraan termasuk menjadi MPR bukan lembaga permanen dan menghapus fraksi DPR.
Reformasi politik, tegasnya, merupakan bagian dari upaya memurnikan kembali demokrasi sehingga kedaulatan rakyat tidak terdistorsi oleh kekuatan lain, seperti partai politik.
“Jangan sampai kedaulatan rakyat dikangkangi oleh kedaulatan partai politik, itu sangat berbahaya kedepannya,” pungkas Fahri.
red: a.syakira