Feminisme, Absurd!
“Wanita dijajah pria sejak dulu”. Potongan syair lagu yang tepat sebagai backsound feminisme. Ide yang tak asing lagi digaungkan oleh mereka yang menuntut kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Dilatarbelakangi oleh pandangan stereotip rendah, hina dan tak berharganya perempuan, selanjutnya membudaya penindasan dan pemerasan perempuan dalam masyarakat.
Kajian mendalam berbagai budaya yang dianggap maju atau agama yang dianggap humanis, ternyata menyimpan pandangan stereotip terhadap perempuan.
Kebudayaan Romawi dan Yunani misalnya, perempuan hanya dianggap sebagai objek seksual, tempat berselingkuh, dan tukang selingkuh. Bahkan dianggap sebagai barang dagangan yang telah dibeli oleh suaminya dari walinya.
Mengerikan lagi posisi perempuan dalam kebudayaan Hindu kuno yang menempatkan perempuan di bawah posisi laki-laki. Hak hidupnya akan berakhir saat suami meninggal dunia. Saat suami dikremasi maka sang istri harus juga ikut dibakar.
Begitupun dengan agama Yahudi, menempatkan posisi perempuan di posisi yang rendah. Hal ini dilihat dari kutipan kitab Talmud, di antaranya:
“Seorang lelaki Yahudi diwaibkan membaca do’a ini tiap hari: Terima kasih Tuhan karena tidak menjadikan aku kafir atau seorang wanita atau budak belian,” (Menahoti 43b-44a)
“Bila lelaki Yahudi telah dewasa bersetubuh dengan anak perempuan, maka itu tidak mengapa,” (ketubath 1b).
Senada dengan agama Katolik, yang dilihat dari kutipan kitab sucinya berbunyi: ‘Lagipula bukan Adam yang tertipu, melainkan perempuan itulah yang tertipu dan atuh ke dalam dosa,’(Timothius 2:214).
Feminisme Tak Seindah Jargonnya
Tak adilnya pandangan dan perlakuan terhadap perempuan dalam budaya dan agama di atas selama berabad-abad, akhirnya melahirkan ide dan gerakan feminisme. Namun bak keluar dari mulut harimau masuk mulut buaya, gerakan feminisme ini hanya mengkonversikan penjajahan perempuan ke bentuk yang lebih modern.