NASIONAL

Fenomena Caleg Artis, Jalan Pintas Kontes Politik?

Artis “nyaleg” menjadi tren menjelang Pemilu Legislatif 2019. Fenomena artis terjun ke dunia politik menjadi daya tarik tersendiri. Popularitas artis digadang-gadang mampu menjaring suara terbanyak. Maka tak heran, sederet nama artis mulai dari mantan petinju hingga pemain sinetron, masuk daftar bakal calon anggota legislatif Pemilu 2019.

Tercatat sekira 54 artis akan berpartisipasi sebagai bakal calon legislatif pada Pemilu Legislatif 2019. Partai Nasdem menyumbang 26 orang artis, diikuti PDI Perjuangan sekira 13 orang, PKB sebanyak 7 orang. Sementara PAN dan Partai Berkarya, partai baru milik keluarga Cendana mengusung 5 orang artis. Partai Demokrat sebanyak 4 orang, sedangkan Gerindra, Golkar, dan Perindo sebanyak 3 orang. Dan, partai baru, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan 1 nama artis yang terdaftar yaitu Giring Ganesha, vokalis Nidji (liputan6.com, 21/7/2018).

Menurut Giring, mayoritas artis menjadi bakal calon legislatif lewat partai-partai pendukung pemerintah. Dengan alasan ingin mendukung program Jokowi, terutama dalam memajukan sektor ekonomi kreatif. Ia juga menyebut para artis ini secara langsung mendukung kinerja Jokowi dan berharap Jokowi dua periode. Terpilihnya mereka diharapkan mampu mendukung gagasan-gagasan Jokowi lewat UU di parlemen (antaranews.com, 22/7/2018).

Dilansir dari kompas.com, 19/7/2018, menanggapi fenomena artis “nyaleg”, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengimbau partai politik untuk mendongkrak kompetensi dan kapasitas para caleg artis. Mengingat para caleg artis hanya dijadikan jalan pintas untuk pemenangan partai dalam kontestasi politik.

Fenomena artis yang terjun ke dunia politik praktis dengan modal “ngartis”, patut menjadi perhatian kita. Dunia politik yang erat kaitannya mengurusi hajat hidup orang banyak, seolah-olah dikerdilkan maknanya, berubah menjadi panggung hiburan.

Berlomba-lomba meraih pundi-pundi suara dengan popularitas diri. Panggung politik jadi ajang eksistensi diri dan hiburan rakyat. Berbagai macam rupa pencitraan dan setingan ala selebritis tak luput dikreasi. Asal memenangi kontestasi politik ala demokrasi.

Padahal dalam berpolitik dibutuhkan orang-orang yang memiliki pemahaman yang benar. Sebab berpolitik sejatinya mengurusi kepentingan umat bukan untuk kepentingan partai. Dunia politik juga bukan sekadar mengejar kekuasaan saja. Tapi juga beratnya pertanggungjawaban di akhirat kelak, bila tak amanah mengemban amanat umat.

Berpolitik berarti siap memberikan pelayanan terbaik untuk umat dengan asas dan sistem yang benar. Sayangnya dalam sistem politik demokrasi yang berasaskan sekularisme materialistik, meniscayakan politik hanya jadi ajang coba-coba para artis unjuk gigi.

Islam memandang politik sebagai aktivitas agung dan mulia. Ibn Taymiyyah mengungkapkan bahwa kekuasaan politik merupakan min a‘zam wajibat al-din (satu kewajiban agama yang utama). Hal ini erat kaitannya dengan definisi syara politik, dimana politik (siyâsah) adalah mengatur/memelihara urusan umat di dalam dan luar negeri (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, 2009).

Berpolitik dalam Islam berarti mengatur dan memelihara urusan umat baik di dalam maupun di luar negeri. Bukan semata-mata untuk meraih kekuasaan sebagaimana pandangan sekular demokrasi. Sebab politik merupakan bagian dari hukum syara, yang menjadi induk pelaksanaan hukum-hukum syara yang lain.

Untuk itu seseorang yang terjun dalam politik praktis/ranah kekuasaan dipastikan adalah orang yang paham hukum-hukum syara dan loyal terhadap Islam. Paham bagaimana bertanggung jawab meriayah seluruh urusan umat. Bukan hanya paham terhadap Islam dan seluruh syariat-Nya. Tapi juga menjalankan kepemimpinannya bersandarkan pada syariat-Nya.

Inilah politik yang sesungguhnya, bukan sekadar panggung hiburan sebagai ajang para caleg artis unjuk diri. Tapi minim visi dan misi dalam meriayah umat. Wallahu’alam bishshawwab.

Ummu Naflah
Member Akademi Menulis Kreatif

Artikel Terkait

Back to top button