SUARA PEMBACA

Geliat Kaum Pelangi Mencari Panggung

Tutorial menjadi gay di Indo. Demikian judul podcast Deddy Corbuzier. Mengundang pasangan gay Ragil Mahardika dan Frederik Vollert, wawancara di podcast itu mengundang kontroversi.

Netizen menghujat. Deddy Corbuzier kehilangan puluhan ribu followers Instagram dan di-unsubscibe seratus ribu subscribers. Ini negeri timur, mayoritas muslim. Perilaku gay tak sesuai dengan ajaran agama manapun, termasuk Islam. Deddy sendiri telah meminta maaf dan menghapus konten video Ragil dari kanal YouTubenya (sindonews.com, 11/05/2022).

Sekalipun dihapus, telah menjadi catatan netizen bahwa Deddy telah memberi panggung pada kaum pelangi. Deddy tidak sendirian, sejumlah korporasi besar memberikan dukungannya pada LGBT. Mengutip dari tirto.id (03/07/2017), ada motif bisnis dibalik dukungan korporasi besar pada LGBT.

University of Georgia’s Selig Center for Economic Growth memberikan laporan bahwa kelompok LGBT memiliki kemampuan membeli nomor tiga di antara kelompok minoritas Amerika Serikat lainnya (tirto.id, 03/07/2017). Data yang dirilis Witeck pada 2016 lalu menunjukkan adanya peningkatan kemampuan membeli komunitas LGBT di pasar Amerika Serikat menjadi 917 miliar dolar. Bukan angka yang kecil, inilah yang menjadi incaran dari perusahaan-perusahaan yang berbasis di Amerika. Sebutlah Starbucks, Adidas North America Inc, Levi Strauss & Co, Nike Inc, Microsoft, Facebook, dan Twitter.

Itu di Amerika. Lalu, bagaimana sikap pemerintah Indonesia yang rakyatnya mayoritas muslim? Cukuplah pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang mewakilinya. Meski mengaku tak setuju dengan LGBT, Mahfud menyatakan bahwa Indonesia negara demokrasi, negara tidak berwenang melarang Deddy Corbuzier menampilkan LGBT di podcast miliknya (liputan6.com, 11/05/2022).

“Mau dijerat dengan UU nomer berapa Deddy dan pelaku LGBT? Nilai-nilai Pancasila itu belum semua menjadi hukum. Demokrasi harus diatur dengan hukum (nomokrasi). Nah LGBT dan penyiarnya itu belum dilarang oleh hukum. Jadi ini bukan kasus hukum,” ujarnya men-cuit di akun @mohmafudmd, Rabu (11/5/2022). (cnbcindonesia.com, 11/05/2022).

Kaum pelangi akan terus menggeliat mencari panggung untuk diakui eksistensinya. Sistem kapitalisme beserta pemerintahan demokrasi akan memberikan ruang dan panggung untuk mereka. Dibalut frasa HAM (hak asasi manusia), perilaku seks menyimpang itu mendapat dukungan.

Kapitalisme dan demokrasi tegak di atas asas sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan. Ditopang oleh empat pilar kebebasan atau liberalisme, diantaranya kebebasan bertingkah laku. Wajar jika LGBT mendapat tempat di sistem kapitalis demokrasi. Sekalipun mayoritas tak setuju, namun negara tetap wajib mengakomodir kepentingan kaum minoritas termasuk kaum pelangi.

Meskipun semua sudah mengetahui bahaya dari perilaku seks menyimpang. Namun tak ada yang bisa menghentikan apalagi menghukumnya. Pelaku LGBT dibiarkan saja dalam penyimpangannya. Padahal jelas-jelas akan merusak dirinya dan mungkin lingkungannya. Sebab takkan mungkin lahir keturunan manusia dari pasangan homo dan lesbi. Bukankah akan musnah peradaban manusia jika perilaku seks menyimpang ini terus dibiarkan?

Memang tak ada payung hukum. Tak ada pula itikad baik untuk membuat UU pelarangan LGBT. Yang ada justru memberi sinyal welcome. Frasa tanpa persetujuan korban pada definisi kekerasan seksual di UU TPKS yang baru disahkan, atau Permendikbud Ristek No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, membuka peluang seks bebas dan perilaku seks menyimpang untuk bebas menyalurkannya tanpa khawatir dijerat hukum. Motif ekonomi jauh lebih kuat dari menyelamatkan moral generasi dan peradaban manusia.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button