OPINI

Gelombang Aksi Demonstrasi di Indonesia: Cerminan Ketidakadilan di Tengah Krisis Multidimensi

Gelombang demonstrasi yang melanda Jakarta pada 25, 28, dan 29 Agustus 2025 bukanlah sekadar aksi spontan masyarakat yang kecewa. Rangkaian protes masif ini merupakan manifestasi dari akumulasi permasalahan struktural yang telah lama mengakar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari tuntutan pembatalan tunjangan DPR hingga kematian tragis pengemudi ojek online Affan Kurniawan, setiap peristiwa menggambarkan betapa dalamnya jurang ketidakadilan yang kini menganga di hadapan rakyat Indonesia. (https://www.cnbcindonesia.com, 30/8/2025)

Situasi Ekonomi: Ketika Pertumbuhan Tak Menyentuh Rakyat

Meskipun pemerintah mengklaim ekonomi Indonesia berhasil mempertahankan pertumbuhan yang relatif stabil dengan inflasi terkendali di level 1,95 persen dan pertumbuhan ekonomi diproyeksikan dalam rentang 5,1-5,5 persen di 2025, realitas di lapangan menunjukkan gambaran yang berbeda. Gelombang PHK massal di awal 2025 telah merenggut sumber nafkah puluhan ribu pekerja, dengan tingkat pengangguran Indonesia menduduki posisi tertinggi di Asia Tenggara mencapai 5,2 persen per April 2024. (https://mediakeuangan.kemenkeu.go.id/ 2 Juni 2025)

Daya beli masyarakat, terutama pada kelompok calon kelas menengah dan kelas menengah, mengalami tekanan signifikan dengan penurunan indeks pembelian barang tahan lama pada berbagai kelompok pendapatan. Kondisi ini semakin diperparah oleh maraknya PHK di berbagai sektor industri, mulai dari PT Sritex yang mem-PHK 8.504 orang, hingga penutupan pabrik Yamaha Music yang berdampak pada 1.100 pekerja. (https://scope.sindonews.com/ 14 Maret 2025)

Ironinya, di tengah penderitaan rakyat inilah anggota DPR justru menikmati tunjangan perumahan fantastis sebesar Rp50 juta per bulan—hampir sepuluh kali lipat upah minimum Jakarta sehingga gaji yang diterima perbulan lebih dari Rp100juta (take home pay). Kesenjangan ini bukan hanya soal angka, melainkan cerminan ketidakpekaan elit terhadap kondisi rakyat yang mereka wakili. (https://www.bbc.com/indonesia/articles, 19 Agustus 2025)

Arogansi Elite Politik: Ketika Wakil Rakyat Menghina Rakyat

Puncak kemarahan masyarakat dipicu oleh serangkaian pernyataan kontroversial anggota DPR yang mencerminkan arogansi dan ketidakpekaan terhadap aspirasi rakyat. Ahmad Sahroni dengan tegas menyebut “orang yang cuma bilang bubarin DPR itu adalah orang tolol sedunia”, sementara Eko Patrio berjoget dengan sound horeg di tengah amarah masyarakat dan Uya Kuya menyebut gaji Rp3 juta tidak besar. (https://www.suara.com, 24/8/2025)

Pernyataan-pernyataan ini bukan sekadar kesalahan komunikasi, melainkan representasi dari mentalitas elit yang telah terputus dari realitas rakyat. Ketika rakyat berjuang memenuhi kebutuhan dasar, para wakil rakyat justru memamerkan privilese dan meremehkan penderitaan konstituennya.

Respons Pemerintah dan DPR: Terlambat dan Setengah Hati

Lambatnya respons pemerintah dan DPR terhadap gelombang protes menunjukkan ketidakmampuan mereka membaca situasi politik. Baru setelah demonstrasi berlangsung selama beberapa hari, DPR melalui Ketua DPR Puan Maharani menyampaikan permintaan maaf karena belum sepenuhnya mampu menjalankan tugas sebagai wakil rakyat. Permintaan maaf yang terlambat ini terkesan reaktif dan tidak tulus. (https://news.detik.com/ 27 Agustus 2025)

Sementara itu, pemerintah justru fokus pada aspek digital dengan memanggil ByteDance (TikTok) dan Meta terkait beredarnya konten provokatif, seolah-olah masalah utamanya adalah platform media sosial, bukan substansi ketidakadilan yang terjadi. Pendekatan ini menunjukkan ketidakpahaman fundamental terhadap akar permasalahan.

Tindakan Represif Aparat: Melanggar Batas Kemanusiaan

Yang paling mengkhawatirkan adalah eskalasi tindakan represif aparat yang melampaui batas kepatutan. Puncak tragedi terjadi ketika sebuah kendaraan lapis baja polisi menabrak dan menewaskan seorang ojek berusia 21 tahun bernama Affan Kurniawan di daerah Pejompongan. Insiden ini bukan sekadar kecelakaan, melainkan konsekuensi dari pendekatan keamanan yang berlebihan terhadap aksi damai masyarakat.

Penggunaan kekuatan berlebihan oleh kepolisian, mulai dari gas air mata, meriam air, hingga pasukan khusus dan kendaraan taktis, telah mencederai hak konstitusional warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum. Sebanyak 600 orang ditangkap dalam rangkaian aksi demonstrasi, menunjukkan betapa represifnya pendekatan aparat terhadap kritik masyarakat. (https://www.hukumonline.com/ 29 Agustus 2025)

Bahaya Penumpang Gelap dan Provokator

Di tengah aksi yang sah dan berdasar, kita harus waspada terhadap infiltrasi penumpang gelap yang berpotensi merusak citra gerakan rakyat. Kekerasan yang memuncak dengan pembakaran mobil dan pelemparan batu menunjukkan adanya eskalasi yang tidak proporsional dengan tuntutan damai masyarakat. Elemen-elemen destruktif ini berpotensi dimanfaatkan untuk mendiskreditkan gerakan dan memberikan justifikasi bagi tindakan represif aparat.

Masyarakat harus mampu membedakan antara aksi aspiratif yang konstruktif dengan tindakan anarkis yang destruktif. Setiap bentuk kekerasan, penjarahan, dan perusakan fasilitas publik hanya akan merugikan perjuangan rakyat dan memberikan alasan bagi kekuasaan untuk semakin represif.

1 2Laman berikutnya
Back to top button