Gen Z dan Kerja Kesukarelawanan
Setidaknya, laporan studi “Indonesia Gen Z Report 2024” yang dirilis IDN Research Institute menegaskan hal tersebut. Dengan penghasilan rata-rata Gen Z yang tak melimpah, hanya sekitar Rp2,5 juta, mereka lebih suka membelanjakannya untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti makanan, tempat tinggal, hingga transportasi. Gen Z lebih banyak menyisihkan uang untuk liburan dan hiburan daripada untuk kesehatan dan pengembangan diri.
Menariknya, Gen Z tergolong generasi yang gemar memberikan bantuan kepada orang lain alias gemar bersedekah. Yang mereka sedekahkan pun beragam, mulai dari barang dan uang hingga bantuan serta jasa. Ada yang mendonasikan untuk kegiatan sosial, sementara lainnya mendukung masyarakat dalam kegiatan usaha kecil di pedesaan.
Sebuah survei yang British Heart Foundation (2023) lakukan terhadap 4.000 responden menunjukkan bahwa 9 dari 10 responden Gen Z menyatakan mempertimbangkan diri untuk menjadi sukarelawan (94%), mengungguli 74 persen responden usia Baby Boomers.
Begitupun, pertanyaannya adalah bagaimana organisasi berbasis relawan melibatkan secara lebih luas Gen Z, khususnya meminimalisasi kesalahpahaman pandangan Gen Z sendiri yang dianggap jauh berbeda dengan generasi lainnya?
Kesukarelawanan Versus Nilai Gen Z
Yang patut dipahami, Gen Z bukanlah satu kelompok yang homogen, sama seperti generasi-generasi lainnya. Artinya ada individu-individu Gen Z yang dengan mudah memahami nilai-nilai bekerja untuk sosial dan kemanusiaan dan lebur di dalamnya.
Yang membedakannya dengan generasi di atasnya adalah, rata-rata generasi X dan Baby Boomer sudah memenuhi tanggung jawab pekerjaannya, menikmati apa yang menjadi tujuannya selama ini. Sementara sebagian besar Gen Z masih menjalani masa-masa pendidikan atau baru saja memulai karier.
Maka tidak mengherankan, merujuk studi Rosterfy.com, 58% responden generasi Baby Boomer termotivasi oleh pekerjaan yang menarik, dibandingkan dengan 44% Gen Z, sementara 51% Gen Z mencari kesempatan untuk belajar, dibandingkan dengan 17% generasi Baby Boomer. Jika direfleksikan dalam kegiatan organisasi, maka Gen Z akan mencari program dan kegiatan volunteering yang menyediakan peluang pertumbuhan dan mampu memberi afirmasi serta umpan balik yang lebih tinggi daripada generasi lainnya.
Artinya, saat organisasi berniat merekrut dan membina relawan baru, mereka mesti memahami bahwa Gen Z kemungkinan lebih termotivasi rasa kebersamaan dan pengalaman yang berarti yang bakal mereka peroleh. Termasuk keterampilan dan peluang karier yang dapat membantu mereka di dunia kerja. Jika nilai dan peluang ini yang ‘dijual’ kepada calon relawan, maka pesannya akan lebih bermakna untuk membuat Gen Z mempertimbangkan bergabung.
Kasus Palang Merah Amerika awal tahun 2024 mungkin dapat menjadi contoh. Palang Merah Amerika melaporkan telah mengalami penurunan donor darah sebesar 40% selama 20 tahun terakhir. Mereka mengatakan bahwa mereka membutuhkan 8.000 donasi mingguan pada bulan Januari untuk memenuhi permintaan darah.
Namun, sebuah survei menemukan bahwa donasi dari orang-orang berusia 16 hingga 18 tahun turun sebesar 60% dari tahun 2019 hingga 2021. Menurut direktur medis eksekutif Palang Merah Amerika, Eric Gehrie, organisasinya kekurangan 7.000 unit untuk memenuhi permintaan dari rumah sakit. Mereka kemudian menemukan bahwa donor darah oleh remaja dan dewasa muda terus menurun selama dekade terakhir. Jika tren ini terus berlanjut, Palang Merah akan berada dalam situasi yang sangat sulit.
Palang Merah Amerika menduga bahwa masalah muncul dari persyaratan tinggi dan berat badan minimum untuk dapat mendonorkan darah yang diberlakukan oleh Food and Drug Administrative (FDA) pada tahun 2015 menjadi alasan lebih kaum muda yang mendonorkan darahnya.
Peraturan itu mensyaratkan, siapa pun yang ingin mendonorkan darah harus memiliki berat badan minimal 110 pounds (sekitar 50 kilogram). Bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun, dibuat pula persyaratan tambahan soal tinggi dan berat badan. Akibatnya, banyak calon donatur darah dari tingkat SMA yang ditangguhkan atau tidak dapat menyumbangkan darah. Karena ditangguhkan atau ditolak, para donatur muda tersebut mendapat kesan bahwa mereka tidak akan pernah bisa menyumbangkan darah lagi.