SUARA PEMBACA

Gerakan Keluarga Berdoa, Cukupkah untuk Hadapi Bencana?

Ledakan kasus Covid terus terjadi di Indonesia. Berbagai upaya ikhtiar telah dilakukan. Ragam kebijakan untuk membatasi aktivitas masyakat tak ketinggilan dibuat oleh pengampu kebijakan. Tawakal dengan doa terus dipanjatkan. Tetapi rupanya tak kunjung menemukan titik terang terselesaikan wabah ini.

Jumlah kasus positif Covid di Indonesia pada 30 Juni 2021 bertambah 21.807 dari total 2.178.272 orang (merdeka.com, 1/7/2021). Diperparah adanya varian baru Covid-19 yang mendominasi kasus, bahkan jumlah yang terinfeksi meningkat tiga kali lipat di Jakarta (kompas.com, 06/07/2021).

Tak ada yang meragukan kekuatan doa, karena doa adalah inti ibadah. Terlebih setiap doa pasti akan Allah kabulkan. Kekuatan doa inilah yang melatar belakangi adanya Gerakan keluarga berdoa yang digadang-gadang Menteri Desa (Mendes) mampu membebaskan RI dari Covid-19 yang terus mengganas.

Dilansir dari detik.com (04/06/2021) Mendes Abdul Halim Iskandar dalam cuitan di akaun Twitter @halimiskandarnu menghimbau warga desa untuk doa bersama keluarga saat pemberlakuan PPKM Darurat. Mendes telah mengirimkan surat resmi kepada kepala desa, pendamping desa dan warga desa untuk menggelar doa bersama. Program Doa bersama ini dilakukan secara rutin mulai Ahad (4/7/2021)  pukul 18.00 waktu setempat di kediaman masing-masing.

Sebetulnya tidak perlu dihimbau, sudah selayaknya setiap muslim akan berdoa dengan sungguh-sungguh saat ditimpa bencana. Terlebih manusia adalah makhluk yang lemah dan harus mengakui bahwa ia membutuhkan pertolongan Allah Subhanahu wa Taala dalam menghadapi wabah. Tapi pertanyaannya, bukankah telah banyak doa dilambungkan oleh masyarakat dunia? Lalu apakah gerakan keluarga berdoa ini akan mampu atasi bencana yang ada?

Mudah saja bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai pencipta virus untuk melenyapkan Corona dari muka bumi. Tapi perlu diingat, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan agar saat berdoa kepada-Nya, harus disertai dengan memenuhi seruanNya, terikat dengan syariatNya dan mengikuti RasulNya. Selain itu doa sebagai ibadah tidak serta merta kita boleh meninggalkan hukum kausalitas atau sebab akibat.

Faktanya hukum kausalitas tidak dijalankan hari ini. Banyak masyarakat yang belum mematuhi protokol kesehatan, tidak jaga jarak, dan masih beraktivitas di luar rumah. Terlebih adanya kebijakan yang dibuat sejak awal tidak jelas dan cenderung memilih keuntungan materi atas Nama penyelamatan ekonomi. Dibandingkan fokus pada penyelamatan nyawa masyarakat.

Seperti PPKM Darurat yang dinilai banyak pakar bukan kebijakan yang efektif untuk antisipasi kegentingan dan ledakan covid. Karena tetap ada pelonggaran operasional sejumlah sektor, seperti 50% karyawan perkantoran, operasional mal kembali dibuka dengan pembatasan, uji coba belajar tatap muka tetap dilakukan (merdeka.com, 01/07/2021). Saat lebaran masyarakat dilarang mudik, tempat ibadah banyak yang ditutup, tapi tempat wisata tetap buka. 

Ironinya saat PPKM Darurat diberlakukan, TKA tetap boleh masuk. Dilansir dari antaranews.com (5/7/2021) 46 TKA asal Tiongkok tiba di Sulawesi Selatan. Sementara Kemenag  Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan bahwa telah menentapkan untuk meniadakan shalat Idul Adha 1442 dan syiar Islam di masjid. Juga pemberlakuan pembatasan pada penyembelihan hewan kurban. (liputan6.com, 02/07/2021).

Alih-alih menerapkan hukum kausalitas, kebijakan yang ada semakin menjauhkan masyarakat dan negara untuk memenuhi seruan Allah Subhanahu wa Ta’ala , terikat dengan syariatNya dan mengikuti RasulNya. Penguasa tetap bertahan dengan sistem buatan manusia yang terbukti gagal atasi pandemi, yaitu sistem demokrasi kapitalisme neoliberal yang meniadakan aturan Allah dalam kehidupan (baca: sekuler) dan menguntungkan para kapital.

Padahal Islam telah mencontohkan lewat kisah sukses Khalifah Umar bin Khaththab dalam menyelesaikan serangan wabah ‘Thaūn Amwās yang menyerang wilayah Syam. Setidaknya ada 30 ribu rakyat yang meninggal saat itu. Kebijakan yang dibuat untuk kemaslahatan rakyat.

Pemimpin kala itu bertindak cepat, yaitu memberlakukan karantina wilayah atau lockdown  syar’i.  Kebijakan ekonomi dan politik dalam sistem khilafah meniscayakan pemenuhan jaminan pelayanan kesehatan gratis yang berkualitas bagi yang membutuhkan. Termasuk jaminan lainnya seperti sandang, pangan, papan, keamanan dan pendidikan diberi cuma-cuma, atau dibandrol dengan harga murah.

Rakyat yang hidup dalam aturan Islam saat itu begitu yakin bahwa wabah merupakan ujian dan terjadi karena kekuasaan Allah SWT. Sehingga sikap qanaah, sabar, taat kebijakan tercermin dari sikap para sahabat. Mereka saling tolong menolong meringankan beban saudaranya.

Maka, jika benar-benar membutuhkan pertolongan Allah mestinya jangan hanya mengimbau pada keluarga dan masyarakat untuk giat berdoa. Tetapi juga bagi pengambil kebijakan harus taubatan nasuha dan kembali pada hukum buatan pencipta secara kaffah yang telah nyata mampu atasi wabah. Bukan tetap ‘keukeuh’ dengan sistem buatan manusia yang lemah.

Muthiah Raihana, Ibu Rumah Tangga

Artikel Terkait

Back to top button