NUIM HIDAYAT

Goenawan Mohamad dan Politik

Manusia bergerak atau beraktivitas ditentukan kesadaran atau pemahamannya terhadap sesuatu. Ditentukan oleh akalnya (hatinya). Informasi atau ilmu yang diterimanya membentuk akalnya dalam menafsirkan sesuatu. Begtu pentingnya akal ini, sehingga Rasulullah menyatakan bahwa tidak ada agama, bagi mereka yang tidak berakal. Dan kewajiban agama akan hilang pada orang yang kehilangan akalnya (tidur, gila dan anak kecil yang belum ‘cukup’ pembentukan akalnya).

Jadi manusia bertindak tidak untuk takluk menaklukkan sebagai teori Marx atau semisalnya, yang tidak percaya kepada Tuhan. Maka dalam politik Islam, tidak ada konsep menindas dan tertindas. Sebagaimana teori Marx bahwa kaum kapitalis selalu menindas harus diganti dengan kaum buruh atau semisalnya. Penguasa adalah kaum penindas, harus direvolusi oleh rakyat dan seterusnya. Maka dalam teori Marxian ini yang terjadi adalah saling menaklukkan dan saling menindas, seperti yang terjadi pada dunia hewan.

Padahal manusia beda dengan hewan. Manusia dengan kelebihan akal yang dberikan Allah, bisa tidak saling menindas atau saling menaklukkan, tapi saling berbagi. Saling kerjasama. Manusia diberikan Allah masing-masing keistimewaan sehingga bisa saling mengisi kelemahan yang ada. Dalam pepatah bahasa Arab dinyatakan, ”Likulli syaiin maziyyatun” (tiap-tiap orang/sesuatu itu mempunyai kelebihan).

Rasulullah Saw manusia yang sempurna akalnya, bisa melihat potensi kelebihan itu pada sahabat-sahabatnya. Sehingga mereka yang dekat dengan Rasul saat itu dididik Rasul hingga menjadi orang-orang hebat (pemimpin-pemimpin) yang dikagumi dunia. Lihatlah bagaimana kecerdasan dan kesederhanaan Umar bin Khattab dalam kepemimpinannya. Jazirah Arab yang terpecah belah menjaladi belasan negara, saat itu menyatu di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab. Lihatlah Ali bin Thalib kecerdasan dan keberaniannya yang mengagumkan dicatat oleh zaman. Hingga kini kalimat-kalimat Ali bin Thalib membuat takjub, baik ilmuwan Islam maupun non Islam. Rasulullah menyatakan bahwa para sahabat bagaikan bintang, siapa yang ‘mengikatkan diri padanya’ maka dia mendapat petunjuk.

Agama memang memang punya ambisi menaklukkan. Tapi penaklukan oleh agama, khususnya Islam bukan untuk penyembahan terhadap makhluk (ego manusia). “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya..” (QS Ali Imran 79).

Penaklukan Islam terhadap individu atau masyarakat, justru menyebabkan masyarakat itu menjadi tercerahkan, menjadi cemerlang dalam berfikir dan bertindak. Inilah yang terjadi ketika risalah Islam pertama kali dibawa Rasulullah berhasil menggoncang akal berfikir orang Arab dan menjadikan bangsa Arab saat itu menjadi pemimpin dunia dan mercusuar ilmu. Begitu juga ketika Islam masuk ke Eropa (Andalusia). Orang-orang Eropa selama lebih dari 700 tahun merasakan manfaat keilmuan Islam. Para pendeta dan pelajarnya saat itu belajar ke cendekiawan-cendekiawan Islam di Andalusia. Tapi sayangnya Eropa tidak berterima kasih, melainkan berjiwa hasad/dengki sehingga Ratu Isabella dan Raja Ferdinand yang Katolik merusak, mengusir dan membantai ratusan ribu orang Muslim di Andalusia.

Jadi beda ambisi Islam dan non Islam (Barat). Dalam menjalin hubungan manusia, Islam mengajak orang bersama-sama takluk di bawah Tuhan (Allah). Sedangkan Barat dalam menjalin hubungan manusia ingin menaklukkan di bawah egonya (makhluk). Makanya ada seorang sahabat yang menyatakan bahwa Islam mengajak dari perbudakan makhluk menuju kemerdekaan manusia yang sejati (‘hanya tunduk kepada pencipta-Nya’).

Makanya hawa nafsu kekuasaan ini sangat berbahaya, bila tidak bisa mengendalikan atau tidak dikendalikan oleh wahyu. Sehingga yang terjadi penguasa itu dikendalikan oleh Iblis. Maka lihatlah para penguasa dulu, seperti Lenin, Stalin, Mao Zedong dan lain-lain membantai jutaan manusia, seperti menyaksikan ikan dibantai oleh nelayan. Sifat sombong Iblis atau Firaun bisa menghinggapi siapapun yang tidak mendekatkan diri pada Allah SWT.

“Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.” (QS Fatir 43)

Al-Qur’an memang menyebut bahwa kebiasaan penguasa bila menguasai sebuah negeri ia menindasnya. Kecuali penguasa-penguasa yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan yang mempunyai misi keadilan bagi manusia.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button