Hadis Maulid Nabi Palsu? Begini Penjelasannya!

Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw merupakan salah satu tradisi yang banyak dirayakan oleh umat Islam di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Kata maulid sendiri berarti “kelahiran”, dan dalam konteks ini merujuk pada peringatan hari lahir Nabi Muhammad pada tanggal 12 Rabi‘ul Awal.
Di Indonesia perayaan maulid Nabi dilakukan dengan cara yang beragam. Ada yang memperingatinya dengan pembacaan shalawat, tilawah Al-Qur’an, pengajian, bahkan shalawat bersama dalam bentuk kasidah dan marawis. Semua itu merupakan ekspresi cinta umat kepada Rasulullah.
Namun demikian, beberapa orang mungkin mempertanyakan terkait dalil mengenai perayaan maulid Nabi Muhammad Saw, apakah ada hadis terkait perayaan maulid?
Hadis Tentang Maulid Nabi Muhammad Saw
Di beberapa daerah ada salah satu hadis populer di kalangan masyarakat yang sering dijadikan sebagai landasan dalam merayakan maulid Nabi. Hadis tersebut berbunyi:
مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدِي كُنْتُ شَفِيعَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa mengagungkan hari kelahiranku, maka aku akan menjadi pemberi syafaat baginya pada hari kiamat.”
Secara redaksi, lafal hadis ini tidak ditemukan dalam kitab hadis primer, baik dalam Kutubusittah maupun Kutubutis’ah.
Beberapa ulama hadis berpendapat seperti Al-Sakhawi dalam kitab al-Maqashid al-Hasanah menyebutkan bahwa hadis ini tidak ada asalnya (la asla lahu), kemudian Ibn Taimiyyah dalam kitab Iqtida al-Sirat al-Mustaqim juga menyebut bahwa tersebut sebagai hadis palsu.
Dalam lingkup kajian hadis, jika ada hadis yang berstatus bersetatus maudhu (palsu), maka mutlak hadis tersebut tidak dapat dijadikan rujukan karena tidak bersumber dari Nabi Muhammad Saw.
Meskipun demikian, setidaknya ada hadis sahih yang bersumber sahabat Abi Qatadah al-Anshari di dalam kitab Sahih Muslim, di mana dikisahkan bahwa nabi Muhammad pernah ditanya oleh para sahabat ketika ia berpuasa di hari Senin. Adapun penggalan matan hadisnya sebagai berikut.
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ ؟ قَالَ : ” ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ
“Dan beliau (Nabi Muhammad Saw) ditanya tentang puasa hari Senin. Maka beliau menjawab: Itu adalah hari aku dilahirkan.” (HR. Muslim, No. 1162).
Dalam kitab al-Manhaj Syarh Sahih Muslim ibn Hajjaj dijelaskan bahwa hadis ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw memperhatikan hari kelahirannya dengan cara yang penuh makna yaitu dengan berpuasa sebagai wujud ibadah dan rasa syukur kepada Allah SWT.
Dari sini dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad Saw merayakan hari kelahirannya, namun wujud dari perayaan tersebut dengan berpuasa. Lantas apakah bisa dikatakan salah tradisi dari perayaan Maulid Nabi Muhammad?
Jika ditarik pada konsep bid’ah, maka tentu perayaan ini akan dikatakan sebagai bid’ah karena di zaman Nabi tidak ada tradisi seperti memukul rebana, ngaji berjamaah, kasidah ataupun marawis. Perlu diketahui, menurut Prof Ali Mustafa Yaqub bid’ah itu terbagi ke dalam tiga bagian yaitu bid’ah akidah, bid’ah ibadah dan bid’ah mualamah.
Perayaan maulid merupakan bagian dari bid’ah muamalah. Dalam pandangan Ali Mustafa Yaqub bid’ah muamalah itu boleh dilakukan selama tidak ada dalil agama yang melarangnya. Sama halnya dengan penggunaan gawai, motor, mobil dan lain sebagainya. Artinya perayaan maulid boleh dilakukan selama diisi oleh kegiatan-kegiatan positif sebagai momentum untuk menumbuhkan rasa cinta, syukur, serta meneladani akhlak Rasulullah Saw dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu A’lam.[]
Khaerul Umam