Haedar Nashir Ajak DDII Rancang Agenda Strategis Bersama
“Masyumi menjadi tempat berhimpun. Menjadi tempat titik temu. Muhammadiyah menjadi anggota istimewa Masyumi,” tegasnya. Ia mengenang, dinamika politik nasional yang amat keras pada 1962 mengakibatkan Masyumi harus berakhir. Karena itu Haedar melihat pengalaman tersebut sebagai pelajaran jika ingin kembali merajut kekuatan umat.
Muhammadiyah, jelasnya, memilih berkonsentrasi dalam ikhtiar dakwah dan menarik garis dengan gerakan politik praktis, meskipun tetap menjalankan politik kebangsaan. Ia berharap umat Islam sebagai mayoritas menjadi qudwah hasanah dalam berbagai situasi politik kebangsaan di Indonesia.
“Antara mudah dan tidak, tapi itulah dinamika perjuangan kita,” kata Haedar.
Ia memandang apa yang Muhammadiyah lakukan memiliki kesamaan dengan garis dakwah yang dilakukan Dewan Dakwah. Baginya, itu belum cukup karena yang paling mendesak saat ini adalah meningkatkan silaturrahim.
“Silaturrahim bukan hanya mempertautkan hubungan yang sudah tersambung, melainkan juga menyambung hubungan yang terputus,” tegasnya.
Ketua Dewan Pembina Dewan Dakwah, KH. Didin Hafidhuddin, menyambut baik seruan orang nomor satu di PP Muhammadiyah tersebut.
“Saya meminta jajaran Dewan Dakwah untuk merancang dialog konstruktif dengan berbagai elemen umat sebagaimana usulan Pak Haedar,” ujar Didin Hafidhuddin.
Ia menegaskan, dakwah memerlukan tenaga yang besar. Karena itu, Didin menyarankan pula agar Dewan Dakwah memprakarsai pertemuan khusus dengan keluarga para pendiri Dewan Dakwah yang telah tersebar di berbagai lini dan posisi. Kekuatan itu, ujarnya, perlu dihimpun di bawah naungan Dewan Dakwah untuk niat dan tujuan yang baik.
Sementara itu Ketua Umum Dewan Dakwah, Adian Husaini, berharap silaturrahim ini dapat berkembang menjadi silatul ukhuwah, kemudian silatul fikri, dan silatul harokah untuk menggerakkan dakwah di Indonesia.[]