Haji Bukan Ibadah Biasa
Dua pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) dan Hasyim Asy’ari (Nahdlatul Ulama), bisa dijadikan contoh. Setelah bertahun-tahun tinggal di Mekkah untuk mendalami agama Islam dari para syekh terkemuka di sana, dua orang itu kembali ke tanah air dengan semangat “anti-kolonialisme”. H.O.S Tjokroaminoto dan Haji Misbach termasuk yang mendapatkan pengawasan Belanda.
Inilah yang terjadi ketika para haji kembali ke negaranya masing-masing. Semangat merdeka dan ghiroh menegakkan Islam muncul saat sesama haji dari seluruh penjuru dunia bersatu. Sebab sejatinya Islam memang memiliki metode kehidupan yang unik. Metode ini dihasilkan dari sekumpulan pemahaman tentang kehidupan. Oleh sebab tidak mungkin Islam hanya dijadikan sebagai agama ritual saja.
Sebagaimana yang terjadi baru-baru ini, ketika Kementerian Agama melarang pengibaran bendera selain bendera Indonesia selama jamaah berada di tenda Arafah dan Mina. Karena, haji adalah misi bangsa dan negara. “Kita bukan lagi bawa bendera ormas, kelompok tertentu, atau KBIH. Jadi jamaahnya jamaah Indonesia,” kata Direktur Jenderal Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah Nizar Ali saat meninjau persiapan tenda di Arafah, Sabtu (27/7). (Ihram.co.id, 27/7/2019).
Padahal bendera negara tertentu, justru menunjukkan adanya sekat tak terlihat, pemisah di antara kaum muslim. Sangat disayangkan, para haji masih dipersekusi di negeri tempat Baitullah berada. Alangkah sempitnya pemikiran tersebut. Sebagai seorang muslim tentu bangga memegang panji-panji milik umat, ar royah dan al liwa yang mempersatukan tubuh umat.
Pelarangan ini seolah membuat umat kembali pada masa kolonial Belanda. Penyematan gelar haji, yang diberikan Belanda bukan lagi sebagai kebanggaan. Tapi alasan untuk mempermudah ‘menciduk’ jika suatu saat ditemukan pemberontakan di satu wilayah tertentu. Kolonial mewaspadai para haji, tapi tak mau repot-repot mengontrol satu persatu haji.
Sejalan dengan itu, Snouck Hurgronje pun menandai sebuah era di mana pemerintah tidak lagi menganggap “Islam” sebagai satu wajah yang menaungi segalanya (baik politik, ritual, spiritual, dan kultural). Snouck menyarankan agar ada pemisahan. Inilah yang disebut dengan sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan. Dan terjadi hingga saat ini.
Maka jika sekarang kita dapati, para haji yang hilang semangat memperjuangkan Islam. Juga tidak memiliki ruh sebagai umat yang satu, berarti opini yang disebarkan musuh Islam telah berhasil masuk ke dalam benak dan pemikiran umat. Islam menjadi perkara remah-remah yang hanya diingat saat melakukan ibadah ritual saja.
Kini saatnya kita kembali memperjuangkan agama yang mulia ini. Memperluas medan dakwah. Sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah Shollallaahu alaihi wassalam ketika menjelaskan kerasulannya dan kemuliaan Islam pada kabilah-kabilah yang datang di musim haji. Momen haji dijadikan wadah untuk membuang kejumudan dan membakar semangat umat.
Saling bertukar pesan politis bagi penerapan syariat Islam secara kaffah, untuk kemudian dibawa ke negeri asal mereka nantinya. Agar panas mabda Islam membara merata di hati umat di seluruh penjuru dunia. Sebab itulah yang nantinya akan menjadi energi gerak bagi kebangkitan umat. Wallahu a’lam.
Lulu Nugroho
Muslimah Penulis dari Cirebon