OPINI

Haji Bukan Ibadah Biasa

Beberapa saat lagi jutaan umat dari berbagai penjuru dunia akan berkumpul di Tanah Suci. Menggemakan kalimat tauhid. Mempersembahkan ibadah haji yang agung ke hadapan Allah SWT. Idul Adha, Hari Raya bagi umat Islam. Namun yang terjadi masih seperti beberapa waktu sebelumnya, ibadah haji hanya menjadi ritual belaka. Pulang berhaji, tidak bertambah semangat memperjuangkan Islam.

Sementara Rasulullah Saw selain beribadah, momen haji dimanfaatkan sebagai ajang dakwah, menyeru umat kepada Islam. Tidak ada informasi yang paling baik disampaikan kecuali mengajak pada agama Allah. Posisi Mekah yang strategis, berada di tengah perjalanan kafilah, berhadapan dengan Laut Merah antara Yaman dengan Palestina.

Bukit sepanjang 80 kilometer membentang mengelilingi lembah. Di lembah itulah Mekah berada. Letaknya yang terkepung bukit, menjadikan Mekah sebagai tempat istirahat para kafilah dagang, sebab di sana pun terdapat mata air. Tenda-tenda mereka terbentang milik kafilah yang datang dari Yaman, Palestina, atau bisa jadi dari selatan dan utara Jazirah.

Mereka saling bertukar dagangan, jual beli, bahkan bertukar informasi. Inilah saat yang tepat bagi Rasulullah menyampaikan Islam. Apalagi peranan Hasyim, tokoh terkemuka yang memegang urusan air dan makanan, terus mendorong penduduk Mekah untuk menafkahkan hartanya bagi tamu Allah. Sehingga seantero Mekah senang berkunjung ke Baitullah.

Kesempatan ini dimanfaatkan untuk menjalin ukhuwah dan semangat perjuangan Islam. Sama halnya dengan jemaah haji Indonesia. Sekalipun dibatasi oleh kolonial Belanda, namun tak ayal jumlah jemaah haji Indonesia selalu banyak. Pembatasan itu disebabkan karena pemerintah kolonial khawatir, para haji akan memicu pemberontakan sepulangnya dari beribadah.

Sebab terjadi fenomena unik, yaitu para haji yang kembali ke tanah air, diperlakukan sebagai orang suci oleh masyarakat. Sehingga kata-kata mereka didengar. Dukungan Syarif Besar penguasa Mekkah dan Madinah pada saat itu juga mempunyai nilai legitimasi bagi beberapa kerajaan Islam di Nusantara. Sehingga banyak pemberontakan di tanah air melawan penjajahan yang digerakkan oleh para haji.

Bahkan di berbagai catatan sejarah, muncul kegaduhan di desa-desa. Belanda melihat bahwa kegaduhan tersebut juga dipelopori oleh para haji, sehingga mereka dianggap sebagai orang-orang fanatik dan pemberontak. Perang Jawa (1825-1830) dan pemberontakan-pemberontakan petani sepanjang paruh kedua abad 19 dipelopori oleh para pemuka agama dan haji.

Raffles, yang mewakili kolonialisme Inggris di tanah Jawa, serupa dengan Daendels: ia sangat tegas menyikapi fenomena para haji yang dianggapnya sering menghasut pembangkangan. Dalam bukunya yang sangat terkenal, The History of Java, ia bilang, “Setiap orang Arab dari Mekkah, maupun setiap orang Jawa yang kembali dari ibadah haji, di Jawa berlagak sebagai orang suci.”

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button