SUARA PEMBACA

Halalan Thayyiban dengan Sekulerisme?

Halalan thayyiban dengan sekulerisme? Mungkinkah terjadi, yang dimaksud dengan sekularisme adalah cara pandang pemerintah terhadap makna halalnya, hanya terbatas pada sertifikasi kehalalan produk, pengembangan kawasan ekonomi atau industri yang  berbasis komoditas atau sektor. Dimana thayyibannya? Sebab jika kita berbicara halal, bukan semata kepada ekosistem, sertifikat ataupun produknya, tapi juga cara yang ditempuh beserta luasan cakupannya.

Bagi Muslim halal dan haram adalah tolok ukur perbuatannya, maka jelas tak hanya sebagaimana yang disampaikan Airlangga Hartanto ataupun Susiwijoyo. Yaitu industri halal saja.  Allah SWT berfirman,”Dan di (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (Qs al-A’râf 7:157).

Di ayat di atas, Allah mensifati bahwa halal adalah yang baik dan haram adalah yang buruk. Ini menjadi rumusan baku bagi setiap muslim,artinya mereka harus menyandarkan perbuatan mereka dalam hal apapun kepada baik buruk menurut syariat Allah, bukan yang lain.  Allah berfirman ,”Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan (QS al-Baqarah 2:195).

Artinya, tak hanya makanan dan minuman tapi semua aspek kehidupan manusia seharusnya bersandar pada syariat halal haram di atas.  Adanya larangan jangan menjatuhkan diri dalam kebinasaan menjadi indikasi kuat,bahwa semua yang berhubungan dengan kebutuhan rakyat haruslah diberikan dengan standar yang sama dan negaralah yang menjamin terpenuhinya kewajiban tersebut.

Dengan dalih melaksanakan amanah UU Cipta Kerja atau Omnibuslaw malah semakin menunjukkan kemana arah pemerintah kita, bukan menuju pada keadaan halal yang dimaksud dalam syariat Islam, namun hanyalah kamuflase kapitalisme berbalut syariat, halal. Sebab, di dalamnya ada mekanisme menawarkan kepada para investor asing untuk turut serta dalam pengembangan industri halal ini.

Jika berdalih lagi bahwa anak negeri sudah difasilitasi dengan adanya UMKM bahkan sekaligus dengan pembebasan biaya sertifikasi halalnya, apakah benar akan menjamin kesejahteraan? Tidak semua rakyat Indonesia pelaku UMKM, bahkan tidak semua rakyat mampu mengakses produk-produk UMKM dan menjadikannya sebagai pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Sedangkan investor asing, ataupun yang berafiliasi dengan investor besar, semacam korporasi tentu akan mampu mengakses dengan besaran modal yang dimiliki dan jalan perizinan yang dimudahkan pemerintah. Dengannya, apakah mungkin keuntungan yang mereka dapat bisa dinikmati rakyat Indonesia semuanya? Malah yang terjadi hak-hak kepemilikan umum yang semestinya menjadi milik rakyat, dikelola oleh negara berpindah ke negeri asing.

Maka, halal disini jelas hanya untuk permainan bisnis, bukan pada pengurusan urusan umat dengan menjamin kehalalan jaminan kesejahteraannya. Hanya pada lingkup industri, produk terbatas, bukan pada semua yang dibutuhkan rakyat seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Kehalalan yang terakhir ini adalah berupa sistem, yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lebih luas dan menjangkau setiap individu rakyat.

Gencarnya pemerintah mengembangkan industri halal, orientasinya bukan pada kemaslahatan umat atau rakyat yang kemudian bisa hidup dalam suasana halalan thayyiban, melainkan murni bisnis, ciri khas kapitalis. Dan yang asasnya sudah pasti sekularisme, hanya mengambil sebagian syariat, bahkan hanya istilahnya saja. Kita sebagai Muslim semestinya waspada dan mulai berupaya untuk mencerdaskan umat agar sadar dan paham persoalan yang sebenarnya. Wallahu a’lam bisshawaab.

Rut Sri Wahyuningsih, Institut Literasi dan Peradaban

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button