MUHASABAH

Halmahera Dilara

Indonesia berduka. Korban luka berat akibat gempa Halmahera Selatan berkekuatan Magnitudo 7,2 pada Ahad, 14 Juli 2019 berjumlah 32 orang dan luka ringan 97 orang. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Maluku Utara per 17 Juli 2019 juga mencatat, 13.250 kepala keluarga (KK) atau 53.076 jiwa mengungsi.

Tidak hanya itu, rumah rusak berat 1.061 unit, rusak sedang 1.412 unit. Fasilitas umum rusak sebanyak 78 dan rusak ringan 39 unit. Kerusakan terbesar berada di Kecamatan Gane Barat Selatan dengan 542 unit, Kepulauan Joronga 287, Gane Barat 203, Gane Timur Selatan 116, Bacan Timur Tengah 72, Bacan Timur Selatan 8, dan Bacan Timur 2.

Bantuan personel dan logistik telah dikerahkan seperti perlengkapan sekolah, matras, tikar, sandang, perlengkapan keluarga, selimut, tenda gulung, lauk pauk, makanan siap saji, perlengkapan bayi, paket kebersihan keluarga, paket rekreasional, sarung dewasa dan karung.

Masih belum mencukupi, sebab ketersediaan Bahan Bakar Minyak (BBM), akses dan jaringan komunikasi di beberapa desa, tenaga medis dan trauma healing, serta alat angkut distribusi bantuan terkendala. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan, masih terjadi 65 kali gempa susulan di Maluku Utara sejak terjadinya gempa.

Pelaksana Harian Kepala Pusat Informasi dan Humas BNPB mengatakan, gempa yang terjadi diakibatkan aktivitas sesar aktif Sorong-Bacan. “Wilayah sekitar pusat gempa tersusun dari batuan vulkanik dan sedimen dengan sifat urai dan lepas, sehingga goncangan terasa kuat.” (Liputan6.com, 15/7/2019).

Gempa masih terus menimpa negeri ini. Meninggalkan luka dan masalah yang perlu dituntaskan segera. Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah berkata, “Kadang-kadang Allah mengizinkan bumi bernapas sehingga mengakibatkan gempa dan tsunami yang dahsyat, sehingga hal itu menjadikan ketakutan kepada Allah, kesedihan, taubat dan berserah diri kepada Allah”.

Islam sendiri telah mewajibkan negara tanggap bencana. Hal ini dilakukan sebagai tanggung jawab penguasa kepada rakyatnya. Saat terjadi bencana, dana cadangan dikeluarkan dari baitul maal (kas negara). Upaya perbaikan dilakukan oleh negara.

Tidak hanya itu, upaya pencegahan pun dilakukan. Islam membuat bangunan untuk antisipasi. Bangunan didesain tahan gempa. Sinan, seorang arsitek di masa Sultan Ahmet membangun masjid di seberang Aya Sofia dengan konstruksi beton bertulang kokoh. Pola lengkung berjenjang membagi beban secara rata.

Selain upaya perbaikan dan pencegahan, pemerintahan dalam Islam juga mengaitkan aktivitas mereka dengan keimanan. Bencana, membuat mereka melakukan muhasabah dan perbaikan. Sebagaimana pernah terjadi ketika Rasulullah bersama Abu Bakar, Umar dan Utsman naik ke bukit Uhud. Tiba-tiba bukit itu berguncang. Maka beliau menghentakkan kakinya ke Uhud dan bersabda: “Tenanglah wahai Uhud, tidak ada di atasmu kecuali seorang Nabi, Ash Shiddiq dan asy Syahid.” (HR. Bukhari)

Di masa kekhalifahan Umar, tiba-tiba Madinah berguncang. Umar kemudian mengetukkan tongkatnya ke bumi dan mengatakan: “Wahai bumi, apakah aku berbuat tidak adil?” Lalu beliau melanjutkan dengan lantang, “Wahai penduduk Madinah, apakah kalian berbuat dosa? Tinggalkan perbuatan itu atau aku yang akan meninggalkan kalian.”

Bumi tunduk pada ketentuan Allah. Sehingga akan memberikan keberkahan pada negeri yang menerapkan syariat. Dengan penerapan hukum Allah, terjamin keadilan di seluruh negeri. Keimanan terpelihara. Penguasa menjamin pengurusan umat yang benar atas dasar takwa. Inilah yang harus kita teladani, bahwa bencana tidak hanya diratapi, tapi bisa diantisipasi.

Lulu Nugroho
Muslimah Penulis dari Cirebon

Artikel Terkait

Back to top button