Hari AIDS Sedunia, Potret Gagal Produk Sekularisme
AIDS adalah salah satu masalah kesehatan yang paling ditakuti masyarakat, sebab rendahnya angka kesembuhan dan risiko penyebaran yang mudah mengintai. Masih menjadi momok. Di Jawa Barat sendiri, kasus HIV, terus meningkat.
Peringatan Hari AIDS dilakukan di Lapangan Gazibu, Bandung, pada 1 Desember 2019. Acara diisi dengan pembuatan rekor Pita Merah MURI terbesar, oleh sekitar 4.000 orang, pemeriksaan HIV, bakti sosial, dan hiburan. Tema nasional yaitu “Bersama Masyarakat Meraih Sukses!”.
Upaya pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS bertujuan untuk mewujudkan target Three Zero pada 2030, antara lain tidak ada lagi ada penularan infeksi baru HIV, kematian akibat AIDS, dan stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Hari AIDS Sedunia diperingati setiap tanggal 1 Desember. Momen ini mengingatkan kita tentang pentingnya pengetahuan tentang HIV dan AIDS. HIV atau Human Imunodificiency Virus adalah virus mematikan karena sifatnya yang merusak sistem kekebalan tubuh.
Jika tidak diobati, HIV dapat berkembang menjadi AIDS (Acquired imuno Deficiency Syndrome) dalam kurun waktu tertentu. Tanpa pengobatan, harapan hidup setelah diagnosis AIDS hanya sekitar tiga tahun.
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Jawa Barat mencatat, berdasarkan data per 2005 sampai 2019, jumlah kumulatif kasus infeksi HIV kurang lebih 36.000, dan 10 persen di antaranya atau kurang lebih 3.600 dari kelompok ibu rumah tangga (IRT).
“Kelompok ibu rumah tangga memang dari dulu angka (jumlah) kasus infeksi HIV-nya terus meningkat, terbanyak kedua setelah kelompok remaja. Sampai saat ini saja jumlah IRT yang terkena infeksi HIV sekitar 10 persen dari jumlah kumulatif,” kata Ketua Sekretariat KPA Jawa Barat Iman Teja Rachman di Bandung.(Jpnn, 1/12/2019)
Perilaku ‘jajan’ di luar dan gonta-ganti pasangan, menjadi hal yang lumrah di kalangan para ibu, kata Iman. Demikian pula terjadi perubahan pada pola hubungan suami isteri. Demi mendapatkan sensasi baru, pelaku melakukan threesome, yaitu hubungan intim bertiga.
Semula penyakit ini hanya menyasar remaja, kini mengenai IRT. Degradasi moral akibat menelan pengaruh buruk media sosial. Tanpa kendali iman, akan mempengaruhi pandangan seseorang terhadap sesuatu, begitu pula terhadap aktivitas seks bebas yang dianggap kekinian.
Hal serupa terjadi juga di Banten.Perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), khususnya hubungan sesama jenis, ternyata menjadi pemicu tingginya angka kasus HIV atau AIDS di kota tersebut. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PDSPDI) Banten mencatat, dalam satu tahun terakhir, jumlah penderita sebanyak 11.238 orang. (Vivanews.com, 1/12/2019).
Dulu di atas 50 persen penularan lewat jarum suntik. Tetapi, sekarang lebih banyak melalui hubungan seksual. Di mana mengarah pada LGBT, hubungan sesama jenis. Ada juga ibu-ibu rumah tangga, biasanya karena dapat ‘kado’ dari suaminya,” ujar dr I Gde Raikos di pelataran Tangerang City Mall.
Pemerintah sendiri telah memiliki program khusus untuk mengatasi HIV/AIDS. Strategi Kementerian Kesehatan adalah akselerasi Suluh, Temukan, Obati dan Pertahankan atau disingkat dengan STOP. Pada tahun 2017, disebut sebagai strategi Fast Track 90-90-90.
Suluh dilaksanakan melalui edukasi atau penyuluhan untuk mencapai 90 persen masyarakat paham HIV. Temukan dilakukan melalui percepatan tes dini agar tercapai 90 persen ODHA tahu statusnya. Obati dilakukan untuk mencapai 90 persen ODHA segera mendapat terapi ARV. Pertahankan yakni 90 persen ODHA yang ART tidak terdeteksi lagi virusnya.
Upaya ini dilakukan pemerintah pusat berkoordinasi dengan daerah. Berbagai komunitas diajak untuk mendukung program ini, memberi layanan pengobatan, membela hak asasi manusia, mendampingi dan mendukung rekan-rekan mereka. Mereka juga bekerja di akar rumput, memimpin, dan berkampanye untuk memastikan bahwa respons AIDS tetap relevan.
Namum sayang, pemerintah maupun komunitas belum menyentuh hal yang paling mendasar, yaitu sistem pengurusan rakyat. Dengan sekularisme, upaya sebesar apapun dikerahkan, tidak akan membuahkan hasil. Sebab masih berkutat dengan nilai-nilai manusia.
Mengobati HIV/AIDS tapi tidak menutup pola hidup serba bebas, tidak akan membuahkan hasil. Pintu pornoaksi dan pornografi terbuka lebar, membuat rakyat leluasa masuk dan mengambil mudharat di dalamnya.
Sedangkan Islam memberi penjagaan paripurna pada seluruh urusan umat. Tidak hanya mendesain pendidikan berkualitas tinggi, menanamkan nilai moral, akhlak dan adab. Akan tetapi juga penjagaan sistem sosial dan persanksian.
Kehidupan bebas jauh dari aturan Allah, terbukti menjerumuskan ke dalam jurang kehinaan. Tanpa kontrol agama, bebas berbuat sesuka hati malah menghancurkan keluarga muslim. Bisa kita lihat faktanya ketika HIV/AIDS menular melalui air susu ibu dan hubungan intim.
Orang-orang yang tidak berdosa harus merasakan akibat dari perbuatan anggota keluarga mereka lainnya. Kerusakan generasi tidak terelakkan. Faktor risiko penularan terbanyak melalui hubungan seksual berisiko heteroseksual (70,2%), penggunaan alat suntik tidak steril (8,2%), homoseksual (7%), dan penularan melalui perinatal (2,9%). Ini baru 60,7 persen data yang masuk.
Pemerintah sendiri hanya fokus pada pencegahan diskriminasi terhadap ODHA. Sementara persoalan yang utama dan mendasar, jauh lebih besar dari itu, yaitu persoalan sistem, tidak tersentuh.
Sebab selama sistem rusak ini, yaitu sekularisme masih diberlakukan, selama itu pula peringatan hari AIDS akan terus diperingati dari tahun ke tahun. Itu artinya, kasus ini berjaya sepanjang masa. Sekularisme gagal menuntaskan HIV/AIDS.
Maka memutus mata rantai HIV/AIDS adalah dengan penerapan Islam. Syariat yang datangnya dari Allah pencipta semesta alam, menjadi solusi jitu bagi seluruh permasalahan umat, termasuk di dalamnya memberantas HIV/AIDS.
Lulu Nugroho
Muslimah Revowriter & WCWH Cirebon.