Hati-hati, Jangan Sampai Terjebak ke “Point of No Return”
Rakyat melihat apsek-aspek bagus di UU Cilaka itu hanya ‘lip service’ belaka. Hanya mulut manis semata. Cuma tipu daya saja.
Ini yang akan menguatkan kesimpulan ‘point of no return’ di benak rakyat. Nah, kalau rakyat menyimpulkan seperti ini dan pihak penguasa telah lebih dulu terjebak ke dalam posisi yang sama, yaitu sama-sama berada di titik ‘point of no return’ itu, bisa dibayangkan bagiamana dahsyatnya benturan energi kedua pihak.
Bisa saja penguasa “menang” dalam benturan itu. Sebab, pihak penguasa memiliki keunggulan fisik. Misalnya, penguasa memiliki perangkat keras berupa personel keamanan yang terlatih dan bersenjata lengkap. Sementara rakyat tidak. Penguasa memiliki gas air mata, peluru karet dan peluru tajam, APD yang berstandar tinggi, kendaraan lapis baja, sepatu keras yang bisa menghancurkan wajah dalam sekali tendangan, dlsb. Sementara rakyat pendemo bukanlah orang yang memiliki peralatan tempur.
Para penguasa juga memiliki superioritas untuk menegakkan hukum sesuai keinginan mereka. Misalnya, penguasa bisa mengatakan apa saja tentang orang-orang yang menentang mereka. Para penguasa berada di posisi untuk melakukan pendekatan intimidatif. Singkat kata, para penguasa bisa selalu menang.
Tetapi, yakinlah, kemenangan pihak penguasa dalam benturan dengan rakyat, tidak akan bertahan lama. Sebab, rakyat yang melawan memiliki keunggulan psikis berupa moril dan moral. Rakyat bisa saja kalah secara fisik. Tetapi, mereka menang secara psikis. Mereka punya moril (semangat dan tekad keras) untuk menyelamatkan Indonesia. Mereka juga punya moral (akhlak) untuk membela dan mempertahankan kebenaran.
Moril dan moral yang orisinal itulah yang tak dimiliki oleh para penguasa. Kalau pun mereka punya, maka moril dan moral mereka itu palsu. Yang biasa diperjualbelikan. Moril penguasa adalah semangat oligarki yang mengutamakan kerakusan untuk menguasai kekayaan negara. Yaitu, moril yang berlandaskan pada kejahatan.
Bagimana dengan moral penguasa? Jika dilihat dari tindakan brutal dan sadis yang dialami rakyat, maka moral penguasa adalah nilai-nilai premanisme yang mereka poles menjadi panduan “mulia” untuk menegakkan keamanan. Atas nama hukum, para penguasa tampaknya meyakini bahwa manghadapi rakyat pendemo dengan cara-cara preman, tidak bertengangan dengan nilai moral universal.
Itulah sebabnya para penguasa akan selalu bisa menang. Tetapi, kemenangan itu akan menimbulkan luka nurani yang akan menjadi monumen kebencian.
Ini yang menyeramkan. Indonesia bakal menjadi “the land of perpetual enmity”. Akan menjadi “negeri permusuhan abadi”.[]
15 Oktober 2020
Asyari Usman
(Penulis wartawan senior)
sumber: facebook asyari usman