Hikmah di Balik Musibah
Musibah lainnya yang baru saja terjadi adalah peristiwa tsunami di pantai Barat Provinsi Banten dan Lampung pada Sabtu (22/12/2018). Sebelumnya tidak ada tanda-tanda gempa bumi ataupun bunyi sirine yang menandakan akan terjadi tsunami. Hingga Selasa (25/12/2018) pukul 13.00 WIB, jumlah korban yang meninggal sebanyak 429 orang, yang mengalami luka-luka sebanyak 1.485 orang dan hilang 154 orang. (TribunJakarta.com)
Berdasarkan sumber yang ada, sepanjang tahun 2018, negeri ini sudah terjadi 513 kali musibah di awal tahun yaitu pada Januari sampai Maret. Dan masih banyak lagi musibah yang terjadi hingga Desember. Maka, banyak yang bertanya-tanya apakah musibah ini adalah ‘kode’ dari Allah untuk menegur hamba-Nya? Kemaksiatan apa yang telah dilakukan di negeri ini?
Ternyata, Allah SWT berfirman, “Musibah apa saja yang menimpa kalian itu adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dosa-dosa kalian).(QS. AS-Syura: 30)
Tanpa manusia sadari, ada korelasi antara perbuatan dosa dengan datangnya musibah. Sangat mungkin terjadi bahwa musibah yang menimpa di negeri ini disebabkan dosa-dosa yang dilakukan oleh penduduk negeri itu sendiri, salah satunya adalah dosa karena mengingkari nikmat Allah, yaitu kesalahan dalam hal pengelolaan sumber daya alam (SDA).
Sebagaimana firman Allah SWT, “Telah nyata kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka itu, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)
Padahal, bagaimana cara penggunaan dan pengelolaan sumber daya alam telah diatur dalam sistem ekonomi Islam. Sumber daya alam telah diatur dalam sub kepemilikan, baik kepemilikan individu, umum, maupun negara. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda, ”Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal: air, padang rumput dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Maksudnya benda-benda yang disebutkan itu merupakan yang dibutuhkan dan menguasai hajat hidup orang banyak, maka kepemilikan atas benda-benda tersebut bersifat umum. Negara boleh mengelola dan mengatur pemanfaatannya. Untuk hasilnya dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk fasilitas-fasilitas umum.