SUARA PEMBACA

Korupsi, Beda Jalan Mencari Rezeki?

DPR dan Pemerintah sepakat permudah pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa seperti korupsi dan terorisme. dengan membawa revisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ke Rapat Paripurna dalam waktu dekat. Kesepakatan itu diambil dalam rapat yang digelar di Ruang Rapat Komisi III, Kompleks Parlemen, Jakarta pada Selasa (17/9) malam (CNN Indonesia, 18/09/2019).

Wakil Ketua Komisi III Erma Ranik mengatakan revisi UU Pemasyarakatan meniadakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Konsekuensinya, DPR dan pemerintah menyepakati penerapan kembali PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang pemberian pembebasan bersyarat.

Lebih lanjut, Erma menjelaskan berlakunya kembali PP Nomor 32 tahun 1999 dalam RUU Pemasyarakatan menjadikan pemberian pembebasan syarat tergantung pada vonis hakim pengadilan. Berdasarkan asas hukum pidana, hak seorang warga negara hanya bisa dicabut atau dibatasi oleh dua hal, yakni undang-undang dan putusan pengadilan.

Sungguh, pertimbangan DPR dan pemerintah diluar nalar. Tindakan korupsi adalah bukti kegagalan pemerintah dalam hal pengawasan, yang mana korupsi akhirnya menyangkut mental dan arah pandang individu masyarakatnya tentang kejujuran dan profesioanalitas amanah yang sudah rusak. Namun justru mendapat banyak perlakuan istimewa ketika yang seharusnya hukuman membuat pelaku jera dan menyadari kesalahannya.

Parahnya, di sisi lain adanya revisi UU KPK yang juga digodok memberikan dampak lain berupa korupsi kini dianggap sebagai perkara biasa, bukan extraordinary crime, kewenangan pimpinan KPK dibatasi, kewenangan merekrut penyelidik independen dihilangkan dan perkara korupsi yang sedang ditangani bisa tiba-tiba berhenti. Ada upaya pelemahan KPK secara masif.

Dengan kata lain di era rezim ini, koruptor makin berjaya karena justru kebijakan yang dibuat makin pro koruptor. Ketika KPK masih aktif saja praktik korupsi merajalela, menyangkut pelaku dari anggota parlemen hingga struktur pemerintahan terendah kepala desa. Dari Birokrat hingga pengusaha. Apalagi ketika nanti KPK sah ditiadakan. Padahal begitu banyaknya kerugian yang harus ditanggung negara akibat korupsi nyatanya tak membuat pemerintah dan DPR melek mata. Mengapa sedemikian keukeuh mempertahankan aturan yang buruk?

Makin terlihat buruk ketika ada seorang politikus yang medefinisikan korupsi sebagai jalan lain mencari rejeki. Ironi , kalimat itu terlontar dari lisan seorang muslim, tokoh di salah satu ormas Islam dan diapun hidup di negeri yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Agama yang ia anut tak mampu mencegahnya dari perbuatan yang keji dan mungkar.

Semua ini tak lepas dari akar masalahnya yaitu penerapan sistem demokrasi dan pemilihan pejabat publik yang membuka celah bagi koruptor dan aspirasinya masuk ke ranah legislasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa bagi seorang calon legislatif agar ia bisa lolos menjadi anggota dewan harus rela” berkorban” biaya yang tak sedikit. Biaya politik yang mahal tak menyurutkan minat mereka yang berambisi “Mewakili” rakyat dalam hal aspirasi dan kesejahteraan. Karena memang tujuan mereka hanya materi.

Bagaimanapun secara alamiah, kekuasaan itu manis rasanya. Sejumlah fasilitas yang bakal diterima, terutama jaminan hidup lebih baik ditengah berbagai kesulitan hidup termasuk biaya kebutuhan pokok yang mahal, menjadikan penguasa dan anggota dewan rela menukar amanah dengan maslahat pribadi. Maka ketika dia dihadapkan kepada biaya yang mahal, tak segan mereka menerima dana dari pengusaha yang ingin mengambil manfaat dan korupsilah satu-satunya yang menjadi solusi termudah.

Umat butuh sistem yang mengeliminasi kasus- kasus korupsi . Karena nyatanya korupsi tumbuh subur di era Demokrasi ini. Sebab kebebasan memiliki dijamin UU sekalipun itu adalah milik umum atau negara, jika individu mampu memenuhi maka diperbolehkan. Akibatnya ketamakan menguasai benak-benak pemimpin dan perwakilan umat tadi, rakyat dikesampingkan bahkan dengan tega dijadikan tumbal kesuksesan mereka.

Kita jelas rindu diterapkan ya sistem islam dengan tiga pilar penegakan hukum-hukumnya yaitu pertama syara yang berdaulat , artinya Allahlah yang paling berhak membuat hukum, kedua penguasa yang menerapkan hukum syara dan ketiga adalah rakyat yang bertakwa. Dengan Islam dan mekanisme penjagaannya, maka korupsi tidak lagi dipandang sebagai perbuatan sepele, karena ketakwaannya mendorong setiap individu untuk senantiasa mengawasi perbuatannya agar tidak melanggar syariat. Allah berfirman:

Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan (siksa) Tuhanmu atau kedatangan beberapa ayat Tuhanmu. Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: “Tunggulah olehmu sesungguhnya Kamipun menunggu (pula).” Qs Al Anam: 158. Wallahu a’ lam bishshawaab.

Rut Sri Wahyuningsih
Member Komunitas Menulis Revowriter

Artikel Terkait

Back to top button