Hitam Putih Presiden Soekarno
Tetapi Tuhan Allah tidaklah mengizinkan kemunafikan itu berlanjut sehingga lanjutan dari peristiwa Lubang Buaya ialah terbukanya mata rakyat malang yang selama ini hanya dibuat, dinina-bobokkan dengan janji-janji dari mereka yang berkuasa yang sekali-kali tidak sanggup mereka memenuhinya. ABRI (TNI) dan rakyat jelata semuanya bersatu menghadapi Orde Lama yang munafik dan bobrok ini dan setiap yang berhutang musti membayarnya” (Hamka, Dari Hati ke Hari, hal. 265).
Meski dipenjarakan, mengiritik keras dan berlawanan politik dengan Soekarno, Hamka mempunyai akhlak yang mulia. Ketika Soekarno meninggal dunia, Hamka memimpin jenazah shalatnya karena melihat Soekarno meninggal dalam keadaan Muslim.
Selain Hamka, mantan Wakil Perdana Menteri RI, Mohammad Roem juga kritis kepada Soekarno. Kritik Roem lain lagi. Menurut Roem, Soekarno kurang jujur menceritakan masa kecilnya yang dipenuhi kemiskinan, kepada penulis biografinya Cindy Adams.
Sebelumnya Roem menyatakan bahwa Soekarno adalah bagaikan buku terbuka. Kata tokoh Masyumi ini:
“Bagi penulis sendiri umpamanya, perjuangan Soekarno sejak ia memimpin PNI 1926 sampai sekarang laksana buku terbuka. Tapi kita ingin tahu juga riwayat hidupnya menurut buku ini (buku Cindy Adams –pen). Keturunan Soekarno tidak tanggung-tanggung! Ibunya Idaju, seorang Bali dari kasta Brahmana keturunan bangsawan. Raja Singaradja terakhir adalah paman ibunya. Ayahnya, Raden Sukemi Sosrodihardjo, keturunan Sultan Kediri. Baikpun dari fihak Ibu ataupun dari fihak ayah, para nenek moyang Soekarno adalah pejuang-pejuang kemerdekaan melawan penjajah Belanda. Salah seorang nenek moyangnya, seorang wanita, berjuang di samping pahlawan besar Pangeran Diponegoro di dalam peperangan tahun 1825-1830, sampai menemui ajalnya.” (Lihat Mohammad Roem, Bunga Rampai Dari Sejarah I, 1977, hal. 167-183).
Roem kemudian mengulas tentang kemungkinan besar ketidakjujuran Soekarno tentang kemiskinannya itu. Roem mengutip biografi Soekarno yang menyatakan: “Aku dilahirkan di tengah kemiskinan dan dibesarkan dalam kemiskinan. Aku tidak mempunyai sepatu. Aku mandi tidak dalam air yang keluar dari kran. Aku tidak mengenal sendok dan garpu. Ketiadaan yang keterlaluan demikian ini dapat menyebabkan hati kecil di dalam menjadi sedih.
Mengenai hidup dalam “kemiskinan” ini sangat lengkap…Begitu lengkapnya cerita itu, sehingga orang yang tahu keadaan di Indonesia terutama di Pulau Jawa pada waktu itu, dengan angka-angka Soekarno sendiri melihat, bahwa keluarga Raden Sukemi Sosrodihardjo tidak miskin sama sekali.
Dilihat dalam rangka “Gobang Report”, dalam mana orang Indonesia rata-rata hidup dari dua setengah sen setiap hari, maka tiap anggota dari keluarga Raden Sukemi Sosrodihardjo yang terdiri dari empat orang, hidup dari 250 gobang sebulan atau lebih dari 8 gobang sehari.”
Maka, kata Roem: “ Tidak masuk akal, seperti yang ia (Soekarno –pen) ceritakan “Kami sangat melarat sehingga hampir tidak dapat makan satu kali dalam sehari.” (Mohammad Roem, hal. 170).
Kritik keras Roem yang lain adalah sikap Soekarno yang merangkul PKI untuk menyingkirkan Masyumi. Syafi’i Maarif mengutip Roem, dalam bukunya “Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965” menyatakan logika revolusi Soekarno ialah menarik garis yang tegas antara sahabat dan musuh revolusi. Kata Syafi’i: “Pada masa demokrasi terpimpin, jargon politik PKI tentang golongan “Kepala Batu” sudah menyatu dengan jargon politik Soekarno yang juga menilai Masyumi sebagai kekuatan “Kepala Batu” yang merintangi penyelesaian revolusi Indonesia.” Demokrasi Terpimpin ini mulai mengkristal ketika Soekarno pada 20 Maret 1960 membubarkan parlemen hasil pemilihan umum 1955 dan membentuk DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) dimana Masyumi dan PSI tidak diikutsertakan.
Walhasil, sebelum merdeka memang Soekarno adalah seorang pemuda yang mempunyai ide besar dan semangat tinggi melawan penjajah Belanda. Ia pernah dipenjara dan diasingkan pemerintah Belanda saat itu. Tapi pemikirannya sayang setelah dewasa lebih banyak diwarnai Marxisme (sekuler) daripada Islam. Sehingga tahun 1930-an ia berdebat keras di media massa dengan pemuda Natsir tentang bagaimana bentuk negara ke depan. Soekarno menginginkan Indonesia menjadi negara sekuler sebagaimana yang dibentuk Kemal Attaturk. Natsir menginginkan negara yang dilandasi oleh nilai-nilai Islam, sebagaimana yang diteladankan Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Soekarno akhirnya menjadi presiden dengan menerapkan ide-ide sekuler yang diyakininya dan kemudian di periode akhir pemerintahannya menyingkirkan kelompok Natsir Masyumi yang dianggap mengganggu jalan revolusinya.
Natsir memang pernah ikut dalam pemerintahan Soekarno, sebagai Menteri Penerangan dan Perdana Menteri, karena Natsir ingin membaktikan hidupnya memperbaiki atau mengislamkan negeri ini. Tapi ia kemudian berlepas diri dari pemerintahan karena partainya ‘dibubarkan dengan paksa’ oleh presiden pada 1960.
Kini pertarungan ide negara sekuler dan ide negara Islami terus berlangsung di negeri ini. Sebagaimana ide menggulirkan tokoh-tokoh idola. Siapakah yang akan menang? Wallahu alimun hakim.*
Nuim Hidayat, Anggota MIUMI dan MUI Kota Depok